Perjuangan Industri Strategis Dalam Negeri

ilustrasi
ilustrasi | Annualreport.id

Perusahaan milik negara yang bergerak di bidang industri strategis bukan hanya PT Pindad (Persero). Ada PT Dirgantara Indonesia (DI) yang merakit pesawat dan helikopter, dan PT PAL Indonesia yang melayani pembuatan kapal perang.

Selain itu, ada juga PT Dahana sebagai penyedia bahan peledak dan PT INTI serta PT LEN Industri (Persero) yang bergerak di bidang elektronika. LEN bersama-sama Kementerian Pertahanan (Kemenhan) baru saja melakukan uji coba Mission System UAV atau Mission System PTTA (Pesawat Terbang Tanpa Awak) di Lapter Rumpin Bogor yang disaksikan oleh Menhan RI Ryamizard Ryacudu, Kamis (27/7/2017).

Uji coba sistem misi PTTA berjalan dengan baik dan sebagaimana dimuat dalam LEN.co.id, Ketua Tim uji coba dari Len, Priono Joni Hartanto, menjelaskan, “Mission system yang dikembangkan Len dapat diimplementasikan di platform UAV Kelas Tactical dan saat ini telah diinstall di UAV Wulung.”

Len berhasil mengembangkan Mission System UAV dan telah dipasang di Wulung hasil pengembangan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Demo terbang PTTA dan statis display diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan. Sistem itu hasil pengembangan program bersama untuk membangun kapabilitas industri pertahanan dalam mengembangkan, merekayasa, dan memproduksi Mission System dan Flight Control System untuk UAV.

Mission System UAV berfungsi sebagai sistem kendali pada pesawat terbang tanpa awak (PTTA), melakukan misi surveilance & reconnaisance, serta melakukan fungsi following way point dan return to home.

Mengenai bisnis PT PAL, Pemerintah Indonesia telah meresmikan kapal selam KRI Nagapasa-403 pada Rabu (2/8/2017) lalu menjadi kapal perang. Kapal tersebut merupakan bentuk kerja sama transfer teknologi dengan pemerintah Korea Selatan. Masih ada dua kapal selam lagi yang tengah dibangun.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi mengatakan kapal selam kedua bakal rampung pada tahun ini. Sedangkan untuk yang ketiga, target pembangunannya 2,5 hingga tiga tahun. Kapal selam kedua dibangun di perusahaan pembuatan kapal Korsel Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME). Sedangkan kapal selam ketiga dibangun di galangan kapal dalam negeri PT PAL Indonesia, Surabaya, bekerja sama dengan DSME Korsel.

“Target pembangunan kan tiga tahun, 2,5 tahun sampai tiga tahun. Yang kedua akhir tahun atau awal tahun, kemudian yang ketiga itu tahun 2018,” jelas Ade seperti dikutipkan Detik.com.

Menurut data yang ada di Kementerian BUMN, nilai ekspor alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang didapat dari PAL Indonesia tahun 2016 yakni Rp524 miliar (VIVA.co.id). Angka itu didapat dari penjualan kapal perang Strategic Sealift Vessel (SSV) sebanyak satu unit. Pembelinya adalah angkatan bersenjata Filipina. Negara yang tengah menghadapi teroris dan kejahatan narkoba itu total memesan sebanyak dua kapal, dengan nilai penjualan lebih dari Rp1 triliun.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, mengatakan salah satu nilai tambah dari SSV yang dijual PAL adalah materialnya. “Bajanya seratus persen Indonesia, dari PT Krakatau Steel,” ujar Fajar kepada VIVA.co.id.

Sementara itu, PT DI dikabarkan menutup 2016 dengan total penjualan senilai Rp1,1 triliun. Angka itu berasal dari penjualan pesawat ke Thailand, Korea Selatan dan Senegal, serta penjualan komponen pesawat ke beberapa negara lainnya.

Sayangnya, menurut Fajar, penjualan itu adalah dalam bentuk pesawat biasa, bukan untuk kepentingan militer. Sejauh ini, DI baru menjual alutsista berupa helikopter ke tiga matra di TNI. Jika di total, nilai penjualan alutsista dari semua industri strategis BUMN diprediksi mencapai Rp1,8 triliun. Angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan pencapaian tahun 2016 sebelumnya, yang tercatat sebesar Rp1,2 triliun.

Meski demikian, bila dibandingkan dengan nilai ekspor nonmigas sepanjang 2016, angka itu masih sangat kecil. Dilansir dari Badan Pusat Statistik, ekspor nonmigas 2016 mencapai US$144,43 miliar.

Kecilnya angka ekspor alutsista itu juga diakui oleh Fajar. Ia menuturkan, nilai ekspor yang didapat dari Pindad saat ini masih sangat rendah. “Masih kurang dari 15 persen dari total penjualan Pindad,” ungkapnya.

Meski sudah memiliki beberapa BUMN yang bergerak di bidang industri strategis, nyatanya hingga saat ini Indonesia masih menjajaki kerja sama impor alutsista dengan negara-negara lain. Pada Maret 2015 lalu, misalnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bertemu Menhan Jepang, Gen Nakatani, di Tokyo. Pertemuan itu menghasilkan nota kesepahaman (MoU). Salah satunya Mou kerja sama pertahanan (2016), antara lain mengenai kerja sama pembelian alutsista.

Lalu, dalam lawatannya ke Rusia tahun lalu, Presiden Jokowi juga sempat membahas mengenai kerja sama bidang pertahanan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Sebelumnya, Indonesia pernah membeli senjata dan peralatan militer seperti tank dan pesawat tempur.

"Kami harap, ada pembelian alutsista lainnya di lain kesempatan," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia,  Mikail Y Galuzin, Mei 2016 silam.

Ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa kita masih mengandalkan produk luar negeri untuk mempertahankan negara? Pengamat militer dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Kusnanto Anggoro mengatakan, salah satu penyebabnya adalah masalah kerja sama dengan pihak lain.

Menurutnya, alutsista Indonesia bisa dikatakan meningkat dalam jumlah, tapi bukan dalam kemampuan operasionalnya. Apa maksudnya, dan apakah BUMN di bidang pertahanan ini bakal menjadi besar sesuai harapan.(AP)