Regulator bukannya tidak berupaya untuk meluruskan cara pandang banyak pihak—khususnya pelaku usaha dan/atau korporasi—tentang makna sesungguhnya CSR. Pada beberapa tahun terakhir, regulator telah mendorong pelaksanaan program CSR di Indonesia yang meliputi 4 (empat) dimensi utama: lingkungan hidup; ketenagakerjaan, kesehatan dan keselamatan kerja; sosial kemasyarakatan; dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk dan layanan yang dihasilkan.
Ke-4 dimensi ini diyakini dapat menghadirkan program CSR yang lebih komprehensif, tepat sasaran, serta mendukung pola harmonis yang ingin dibangun antara kepentingan dunia usaha dan keberlanjutan peradaban.
Masing-masing dimensi memiliki fokus tersendiri, yang kemudian dapat diartikulasikan sebagai sebuah upaya membangun hubungan antara perusahaan dan pemangku kepentingannya: lingkungan hidup yang dapat menunjang peradaban ke depan; karyawan sebagai bagian dari pemangku kepentingan internal; masyarakat yang tidak hanya dipandang sebagai obyek oleh industri; serta konsumen sebagai pengguna produk dan/atau layanan.
Lebih jauh lagi, ke-4 dimensi tersebut menjadi elemen dasar bagi pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan oleh banyak pihak. Global Reporting Initiative (GRI), sebuah organisasi internasional yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan, telah merilis Laporan Keberlanjutan atau Sustainability Report yang digunakan sebagai standarisasi laporan penerapan pembangunan berkelanjutan oleh korporasi di berbagai negara.
Melalui penyusunan berbagai indeks, laporan berstandar GRI mengalkulasikan penerapan korporasi yang sehat—termasuk diantaranya Tata Kelola Perusahaan yang Baik atau Good Corporate Governance (GCG) dan pengelolaan manajemen risiko—serta upaya-upaya yang dilakukan korporasi dalam menciptakan harmonisasi dengan lingkungan dan pemangku kepentingan.
Upaya mendudukkan kembali kebijakan CSR ini bukanlah tanpa kendala dan tantangan. Selain persoalan cara pandang atas CSR yang sangat sederhana yang melanda sebagian besar korporasi di Indonesia seperti yang telah disebutkan di atas, persoalan sosial budaya di Indonesia kerap menjadi batu sandungan bagi pelaksanaan program CSR yang sesuai dengan impian akan pembangunan yang berkelanjutan.
Pandangan tentang mahalnya investasi pada bidang sosial budaya yang juga membutuhkan langkah jangka panjang maraton menjadi tantangan yang harus dijawab oleh semua pihak; baik itu pelaku usaha maupun pemerintah.(PJD)