Sejalan dengan gagasan pembangunan berkelanjutan di kalangan korporasi, perkembangan GCG dewasa ini telah mencita-citakan Good Corporate Citizen. Ide ini disandarkan pada impian tentang pemangku kepentingan internal di tubuh korporasi sebagai “warga” yang membawa semangat prinsip korporasi yang baik.
Nilai-nilai korporasi yang baik seperti kejujuran dan tanggung jawab diharapkan dapat dijiwai oleh karyawan sebagai “para warga”, yang pada akhirnya dapat menularkan nilai-nilai yang baik kepada seluruh masyarakat.
Tumbuh bersama, demikian cita-cita besar tentang pembangunan berkelanjutan. Antara perusahaan dan pemegang saham serta karyawan, antara korporasi dan masyarakat, antara dunia usaha dan lingkungan; yang kemudian akan berujung pada warisan kepada generasi berikutnya. Dibutuhkan sebuah pendekatan sistemik, agar impian tumbuh bersama ini tidak hanya menjadi jargon maupun ide kosong tanpa implementasi yang tepat sasaran.
Berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah—melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)—untuk mendorong terwujudnya korporasi yang berkelanjutan di tubuh BUMN adalah sebuah inisiasi yang patut diacungi jempol.
Di luar persoalan dimensi ekonomi politik yang melingkupinya, berbagai upaya BUMN seperti Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) maupun gerakan “BUMN Hadir Untuk Negeri” dapat disebut sebagai langkah sistemik untuk mewujudkan gagasan tumbuh bersama itu.
Mengimplementasikan program CSR yang tepat sasaran, melibatkan auditor untuk memantau penggunaan dana, serta merilis laporan yang dapat dipertanggungjawabkan, adalah sebuah bentuk komitmen korporasi BUMN untuk dapat mengelola program CSR dengan baik.
Untuk melengkapi dimensi korporasi yang berkelanjutan, pemerintah mewajibkan seluruh BUMN untuk melakukan penilaian terhadap pelaksanaan GCG, serta penilaian terhadap kinerja berbasiskan proses dan hasil yang tertuang dalam Kriteria Penilaian Kinerja Unggul (KPKU).
Tak pelak, kebijakan semacam ini mendorong BUMN untuk mampu terus mengevaluasi dirinya dan berkembang ke tingkat yang lebih tinggi. Di samping itu, kebijakan-kebijakan di atas akan memberikan BUMN sebuah standarisasi yang logis, yang dapat digunakan oleh BUMN untuk mengukur dirinya di tengah-tengah kompetisi yang begitu ketat.
Maka, kembali ke gagasan besar di awal, mewujudkan keseimbangan antara People, Profit dan Planet harus dapat melibatkan kepentingan berbagai pihak. Baik kepentingan lingkungan hidup yang akan diwariskan kepada generasi berikutnya, kepentingan regulator sebagai wasit sekaligus perumus kebijakan, kepentingan komunitas masyarakat, maupun kepentingan perusahaan itu sendiri untuk dapat terus berkembang. Idenya sederhana, butuh komitmen besar untuk mewujudkannya. (PJD)