Perkembangan Industri Kelapa Sawit Tanah Air

Ilustrasi
Ilustrasi | Nugroho/Annualreport.id

Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dan sangat stabil ini digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel.

Kebanyakan minyak sawit diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon kelapa sawit membutuhkan suhu hangat, sinar matahari, dan curah hujan tinggi untuk memaksimalkan produksinya.

Meski demikian, keberadaannya selalu dirundung kontroversi. Mulai dari tudingan sebagai material yang mengganggu kesehatan tubuh, hingga industrinya yang dicap sebagai perusak lingkungan.

Kritik demi kritik terhadap industri kelapa sawit Indonesia dari hulu ke hilir memang sudah lama terjadi. Namun, ekspansi industri berbasis kelapa sawit tetap berjalan, dan selama beberapa dekade menjadi salah satu komoditas tulang punggung perekonomian nasional.

Seperti diketahui, tanaman kelapa sawit pertama kali dikembangkan komersial di Indonesia mulai 18 November 1911. Penanaman sawit pertama di Indonesia adalah di Pulo Raja, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.

Sejak 1920, perkembangan industri kelapa sawit sangat cepat, bahkan bisa dibilang revolusioner. Pada 1980, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sekitar 300.000 hektare. Pada 2014, luas lahan menjadi 11 juta hektare.

Selain itu, pangsa pasar kelapa sawit rakyat juga terus meningkat. Pada 1980, pangsa pasar kelapa sawit rakyat hanya sekitar 2%. Pada 2014, angka tersebut meningkat menjadi 42%.

Industri minyak sawit Indonesia pada 2017 ini cukup menggeliat. Per September 2017, realisasi produksi minyak sawit mencapai 4 juta ton, naik 2% dari Agustus 2017, sekaligus menjadi produksi tertinggi di tahun ini.

Kinerja positif juga terlihat pada realisasi ekspor. Sepanjang September, ekspor minyak sawit mencapai 2,76 juta ton, angkanya memang turun 7,5% dibanding Agustus 2017, tapi angka ekspor ini masih lebih tinggi dari tren ekspor sejak awal tahun ini.

Untungnya, saat ekspor turun, harga rata-rata minyak sawit dalam bentuk crude palm oil (CPO) global sepanjang September 2017 justru naik 7% menjadi US$724,9 per metrik ton dari harga rata-rata Agustus 2017. Kenaikan ini dipicu stok minyak sawit di Indonesia dan Malaysia yang menipis.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor komoditas minyak sawit menyentuh US$15,22 miliar pada periode Januari-Agustus 2017, naik 43% dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$10,58 miliar.

Komoditas minyak sawit paling tajam dalam sumbangan kinerja ekspor nonmigas Indonesia, yakni sebesar 15% dari total nilai ekspor nonmigas US$98,78 miliar. Setelah sawit, disusul batu bara US$13,24 miliar dan mesin atau peralatan listrik sebesar US$5,85 miliar. 

Sumbangan sawit tak hanya pada devisa, tapi penyerapan tenaga kerja. Diperkirakan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri dari sektor sawit sebanyak 5,7 juta orang, dengan 2,2 juta orang merupakan orang-orang yang terlibat dalam perkebunan sawit rakyat.

"Keseluruhan, diperkirakan sekitar 16–20 juta orang mengandalkan penghidupan dari bisnis kelapa sawit hulu-hilir," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto seperti dikutip dari laman kemenperin.go.id, Kamis (2/2/2017).

Pada kesempatan tersebut, Menperin juga menyatakan, Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan  (BLU BPDP) Kelapa Sawit berperan strategis untuk mewujudkan tujuan bersama dalam membangun industri kelapa sawit hulu-hilir yang berdaya saing.

“Di sektor hulu, kami mengharapkan agar program peremajaan atau replanting dapat segera dilaksanakan untuk meningkatkan produktivitas petani rakyat,” kata Menperin.

Menurut Menperin, sektor hulu juga berkepentingan pada peningkatan produktivitas petani rakyat sebagai pemasok bahan baku industri yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan dapat dilacak. Salah satunya melalui riset terapan dalam kebijakan pengembangan teknologi.

"Ahli kelapa sawit dari Indonesia dianggap lebih hebat dari ahli Inggris atau Amerika. Sebagai produsen terbesar di industri kelapa sawit, sudah seharusnya Indonesia menghasilkan peneliti-peneliti yang hebat di sektor kelapa sawit,” tuturnya.

Selanjutnya, kata Airlangga, kegiatan riset dan pengembangan teknologi industri hilir minyak sawit juga harus menjadi lokomotif penciptaan nilai tambah produk dalam negeri yang inovatif, kreatif, dan dinamis mengikuti tren ke depan.

Oleh karena itu, program penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) perkelapasawitan harus pula dijalankan, khususnya pendidikan vokasi untuk membentuk SDM industri yang kompeten.

“Kami meyakini bahwa pelaksanaan program BLU BPDP Kelapa Sawit ini dapat turut mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat, yang juga menjadi tujuan bersama dalam pembangunan ekonomi bangsa. Hal ini sejalan dengan agenda utama Bapak Presiden Joko Widodo di tahun ini,” paparnya.

Artinya perkebunan kelapa sawit merupakan spektrum ekonomi, yang di dalamnya ada sektor rumah tangga petani, usaha kecil menengah, pelaku perkebunan hingga industri besar kelapa sawit. (RiP)