Geliat Industri Batubara Dalam Negeri

Ilustrasi
Ilustrasi | Nugroho/Annualreport.id

Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia. Sejak awal tahun 1990-an, ketika sektor pertambangan batubara dibuka kembali untuk investasi luar negeri, Indonesia mengalami peningkatan produksi, ekspor dan penjualan batubara dalam negeri. Selama tahun 2000-an, “boom komoditas” menjadikan industri pertambangan batubara sangat menguntungkan karena harga batubara cukup tinggi.

Indonesia memiliki cadangan batubara kualitas menengah dan rendah yang melimpah. Jenis batubara ini dijual dengan harga kompetitif di pasar internasional. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat cadangan batubara Indonesia mencapai 28,4 miliar ton sampai semester pertama 2017.

Negara tujuan utama untuk ekspor batubara Indonesia adalah China, India, Jepang dan Korea Selatan. Selama tahun-tahun kejayaannya, batubara menyumbang sekitar 85% terhadap total penerimaan negara dari sektor pertambangan.

Boom komoditas pada era 2000-an menghasilkan keuntungan yang signifikan untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di dalam ekspor batubara. Kenaikan harga komoditas ini sebagian besar dipicu oleh pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.

Kendati begitu, situasi yang menguntungkan ini berubah pada saat terjadi krisis keuangan global pada tahun 2008 ketika harga-harga komoditas menurun begitu cepat. Indonesia terkena pengaruh faktor-faktor eksternal ini karena ekspor komoditas, terutama untuk batubara dan minyak sawit, berkontribusi sekitar 50% dari total ekspor Indonesia, sehingga membatasi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 sampai 4,6%, yang boleh dikatakan masih cukup baik, terutama didukung oleh konsumsi domestik.

Pada semester II tahun 2009 sampai awal tahun 2011, harga batubara global mengalami rebound tajam. Kendati begitu, penurunan aktivitas ekonomi global telah menurunkan permintaan batubara, sehingga menyebabkan penurunan tajam harga batubara dari awal tahun 2011 sampai pertengahan 2016.

Pada paruh kedua 2016 harga batubara melonjak,  Harga Batubara Acuan (HBA) terlihat mulai naik pada Oktober 2016, dengan sempat menyentuh level US$100 per metrik ton, sehingga memberikan angin segar ke industri pertambangan. Kenaikan harga ini dipicu oleh pulihnya harga minyak mentah, meningkatnya permintaan batubara domestik di Indonesia seiring dengan kembalinya pembangkit listrik tenaga batubara baru, namun yang lebih penting lagi yaitu kebijakan penambangan batubara Cina.

Cina, produsen dan konsumen batubara terbesar di dunia, memutuskan untuk memangkas hari produksi batubara domestiknya. Alasan utama mengapa Cina ingin mendorong harga batubara ke level yang lebih tinggi pada paruh kedua tahun 2016 adalah tingginya rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan  (NPL) di sektor perbankan Cina. Rasio NPL-nya meningkat menjadi 2,3 persen pada tahun 2015. Alasan utama yang menjelaskan kenaikan rasio NPL ini adalah perusahaan pertambangan batubara Cina yang mengalami kesulitan untuk membayar hutang kepada bank.

Harga batubara dan mineral diprediksi melanjutkan tren penguatan seiring dengan membaiknya faktor fundamental, kecemasan risiko geopolitik, dan lesunya dolar AS. Banyak kalangan memprediksi bahwa harga batubara dan mineral cenderung menguat sampai akhir 2017. Sentimen fundamental antara volume suplai dan permintaan menjadi faktor utama.

Selain itu, harga komoditas terbantu oleh risiko ketegangan geopolitik global di seputar Amerika Serikat dan Korea Utara. Sentimen ini memicu pelemahan dolar dan sikap pasar yang mewaspadai kekurangan stok, sehingga aksi beli meningkat.

Cina masih menjadi aktor utama yang menggerakkan harga batubara dan komoditas logam. Harga berpeluang menguat seiring dengan ekspansi pertumbuhan ekonomi negara tersebut dan intervensi pembatasan pasokan.

Untuk batubara, musim dingin yang terjadi pada pertengahan November 2017 hingga Februari 2018 bakal menaikkan sisi konsumsi. Oleh karena itu, harga diperkirakan dapat melampaui level US$100 per metrik ton sampai akhir tahun 2017.

Adapun pada 2018, harga batubara diperkirakan masih stabil bergerak di kisaran US$70-US$100 per metrik ton. Kestabilan harga berjalan seiring dengan dengan peningkatan konsumsi domestik di negara-negara eksportir utama seperti Indonesia dan Australia.

Bagi perusahaan batubara, tentu saja ini adalah tahun yang cukup manis bagi mereka. Tak heran, jika beberapa dari emiten batubara ini terus mendulang kinerja yang cukup signifikan, hal tersebut terlihat dari kinerja kuartal III-2017.  Seperti dilansir dari Kontan, beberapa emiten mulai menunjukkan perbaikan kinerja seiring membaiknya harga batubara.

PT Bukit Asam (Persero) Tbk, misalnya, meraih pendapatan Rp13,22 triliun di kuartal III 2017 atau naik 31,7% year-on-year (yoy). Meski beban pokok penjualan serta beban umum dan administrasi naik, emiten pelat merah ini meraih pertumbuhan laba 250% (yoy) menjadi Rp2,62 triliun.

Kinerja PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) juga bagus. Hingga akhir September 2017, pendapatan DOID naik 33,52% jadi US$558,48 juta. Emiten ini mampu meraih pertumbuhan laba 24,08% (yoy) menjadi US$31,43 juta.

Selanjutnya, pendapatan PT Harum Energy Tbk (HRUM) menanjak 84% (yoy) menjadi US$239 juta. Adapun laba bersihnya melonjak 204% menjadi US$32,64 juta.

PT Adaro Energy Tbk (ADRO) berhasil membukukan kinerja positif selama sembilan bulan pertama 2017. Seperti yang di lansir Liputan6.com, Adaro mencatatkan kenaikan laba sebesar 78%, menjadi US$372,47 juta dibanding periode sama tahun lalu yang sebesar US$209,08 juta.

Sementara PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) juga berhasil membukukan kinerja positif dengan mencatatkan penurunan rugi bersih sebesar USD56,5 juta. Penurunan rugi ini, setara dengan 37,99% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Seperti yang dilansir Okezone.com, dalam keterbukaan informasi yang diterbitkan Perseroan di situs Bursa Efek Indonesia (BEI), rugi bersih Perseroan pada kuartal III 2017 tercatat sebesar US$92,05 juta (Rp1,24 triliun jika mengacu kurs Rp13.500 per US$) dibandingkan periode sebelumnya sebesar US$148,47 juta (Rp2 triliun). Sementara pendapatan Perseroan tercatat mengalami peningkatan menjadi US$5 juta dari sebelumnya US$2,17 juta. Total utang Perseroan juga mengalami penurunan signifikan menjadi US$240,21 juta dari sebelumnya US$437,87 juta. (DD)