Bisnis Ritel Masih Mendung

Ilustrasi
Ilustrasi | Nugroho/Annualreport.id

Permasalahan terkait daya beli masyarakat di Indonesia memang masih menjadi perdebatan, terlebih saat ini banyak para pemain industri ritel menutup gerai cabangnya akibat nilai penjualan tak mencapai target. Seperti yang kita ketahui bersama, di semester satu 2017, satu jaringan ritel ternama, Seven Eleven atau dikenal dengan Sevel, menyatakan penutupan seluruh gerainya karena kinerja bisnis yang memburuk.

Deretan perusahaan ritel yang memutuskan untuk menutup tokonya kembali bertambah. Kali ini giliran PT Mitra Adiperkasa Tbk. (MAPI) yang memutuskan untuk menutup Lotus Departemen Store.

Corporate Secretary MAPI Fetty Kwartati, dalam keterangannya yang dilansir Detik, mengatakan bahwa Perseroan berencana untuk menutup seluruh gerai Lotus yang hanya ada di 5 cabang. “Betul, semua gerai Lotus akan ditutup ada 5, yang 2 sudah ditutup yang 3 lagi akhir bulan ini karena kinerja yang kurang baik,” katanya.

Adapun 3 gerai yang tengah dalam proses penutupan berlokasi di Thamrin, Bekasi dan Cibubur. Menurutnya, keputusan tersebut merupakan bagian dari strategi Perseroan untuk melakukan restrukturisasi toko ritel yang dimiliki.

“Ini merupakan bagian dari program restrukturisasi department store untuk meningkatkan overall kinerja Perusahaan,” katanya.

Sebelumnya, Fetty mengakui, sempat mengatakan jika perusahaan memang sedang mengkaji kinerja keuangan dari lima department store-nya. Beberapa department store tersebut, yakni tiga gerai Lotus dan dua gerai Debenhams.

Langkah MAPI ini dirasa cukup mengagetkan, pasalnya, laba dari perusahaan yang mengelola banyak toko ritel ternama ini masih cukup positif. Sepanjang semester I tahun ini saja Perseroan mampu membukukan laba bersih sebesar Rp175,02 miliar, meningkat hampir tiga kali lipat dari semester I-2016 sebesar Rp46,3 miliar.

Kabar tentang tutupnya Lotus ini juga sampai kepada Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta. Menurutnya, hal ini bukanlah kabar yang mengejutkan, mengingat pada tahun ini ada beberapa perusahaan ritel yang terpaksa tutup.

Menurutnya pula, saat ini kondisi usaha ritel memang tengah melemah. Beberapa perusahaan juga melakukan efisiensi demi menutup kekurangan. Meski demikian, tak sedikit juga perusahaan ritel yang kondisinya cenderung membaik dan terus berekspansi. Hal ini ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk lokasi dan siasat bisnis dari perusahaan itu sendiri.

“Efisiensi, yang jelek ditutup. Kalau bagus lokasinya dan dia bisa buat format yang cukup baik akan tetap ekspansi,” kata Tutum menjelaskan.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, sebetulnya saat ini industri ritel sudah dalam perbaikan di mana ada peningkatan penjualan sekitar 5%.

“Saya tidak bisa bicara secara mikro, tetapi secara umum kita dalam rapat kemarin itu melihat ritel sudah ada perbaikan,” kata Agus Martowardojo sebagaimana dilansir RMOnline.

Agus menilai, dari penjualan ritel yang meningkat terutama dari industri otomotif, industri perdagangan hingga restoran. Di industri otomotif dan sepeda motor sudah ada perbaikan tinggi. “Kita juga lihat beberapa industri perdagangan, perhotelan, restoran itu semua menunjukkan kondisi penjualan yang lebih baik,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan, bisnis ritel dalam negeri tengah mengalami tantangan berat di tahun ini. Bukan lantaran daya beli yang menurun, melainkan disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat untuk berbelanja.

“Orang tidak belanja, duit padahal ada tapi orang tidak belanja. Kita lihat duit di bank naiknya signifikan, kok. Pendapatan masyarakat relatif sama, tetapi mereka lebih banyak nyimpen duit dulu,” katanya.

Sementara itu, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) memastikan bahwa saat ini kondisi Hypermart masih baik-baik saja. Penjualan MPPA pada semester pertama tahun ini terlihat hampir mendatar. Kinerja positif ini sebagian besar didorong oleh beberapa faktor, seperti pergeseran masa penjualan Idul Fitri, tren peningkatan marjin laba bruto sebesar 173 basis poin dari kuartal I-2017.

Meski pada semester pertama mengalami penurunan, namun hasil kinerja kuartal I-2017 lebih baik dibanding kuartal I 2016. Hal ini menunjukkan bisnis ritel Hypermart sudah menuju ke arah positif.

“Perseroan juga melakukan berbagai upaya efisiensi biaya yang sedang dijalankan yang berhasil menurunkan biaya umum dan administrasi sebesar 16,5% dari Rp584 miliar di kuartal I-2017 menjadi Rp488 miliar di kuartal II-2017,” kata Public Relation & Communication Director MPPA Danny Kojongian, seperti dikutip SINDONews.

Meski demikian, pendapatan MPPA pada semester I-2017 tercatat sebesar Rp6,7 triliun atau turun 3,0% dari semester I-2016 yang sebesar Rp6,92 triliun. Sedangkan tingkat pertumbuhan masih negatif. Sementara restrukturisasi bisnis sejak 18 bulan lalu mulai membuahkan hasil di mana penjualan MPPA secara konsisten lebih baik dari kompetitor utamanya di bidang hipermarket atau supermarket dalam ritel modern.

Sementara itu, di tengah penurunan penjualan, justru Divisi fresh food dan grocery masing-masing mencetak pertumbuhan 2,5% dan 0,7% di semester I 2017. Pertumbuhan penjualan secara keseluruhan mengalami dampak yang berasal dari pertumbuhan penjualan yang lemah dari elektronik dan peralatan rumah tangga terkait dengan proses restrukturisasi dan koreksi ketidakseimbangan ragam produk.

“Walaupun keadaan kinerja penjualan yang relatif datar, marjin laba bruto dan biaya operasional diharapkan akan meningkat sebagai hasil dari upaya restrukturisasi tersebut,” kata Danny.

Marjin laba bruto MPPA di semester I-2017 juga tercatat menurun 100 basis poin dari tahun lalu menjadi 14,9%, sebagian besar disebabkan oleh investasi pada strategi pricing Perseroan beberapa saat lalu dalam menurunkan harga lebih dari 5.000 jenis barang untuk meraih kembali posisi kompetitif  dengan fokus tertentu pada beberapa jenis barang penting pada sektor minimarket.

Indikasi awal dari strategi pricing ini membuahkan hasil positif. Salah satu dari perubahan strategis utama dari proses restrukturisasi adalah perubahan metode “shift to cost” yang memungkinkan MPPA mengarahkan model bisnisnya lebih baik dengan pemberdayaan informasinya pada tingkat SKU produk.

Selain itu, strategy for growth MPPA berfokus pada lima pilar, di mana pilar kelima, bisnis omni-channel, mulai mendapatkan daya tarik di mana konsumen modern Indonesia secara berkelanjutan mengadopsi gaya hidup digital dan teknologi ponsel pintar dalam aktivitas dan belanja harian mereka.

Namun, MPPA mencatatkan kerugian bersih pada semester I-2017 yang mencapai Rp170 miliar, menurun dari keuntungan bersih Rp25 miliar yang dicapai tahun lalu, yang sebagian besar disebabkan oleh tingkat penjualan lebih rendah, marjin laba bruto yang lebih rendah dan allowance terhadap piutang yang dicatat pada kuartal pertama tahun ini.

Melihat keadaan ritel yang terus melemah, CEO MPPA telah mengumumkan beberapa perubahan penting. Salah satu di antaranya adalah rasionalisasi jumlah eksekutif senior guna mendukung upaya peningkatan produktivitas yang telah dikomunikasikan pada Laporan Tahunan 2016. Hal ini dikatakan akan menghasilkan peningkatan efisiensi kantor pusat sampai 20% pada Desember 2017 berdasarkan dasar yang dinormalisasi.

“Setelah menjalankan upaya produktivitas signifikan di tingkat gerai, manajemen Perseroan saat ini juga fokus kepada pengurangan biaya kantor pusat ke tingkat di bawah 2015 pada 2018,” kata Danny.

Hendry Ramdhan, seorong Praktisi Bisnis dan Penulis, sebagaimana dikutip SWA, mencoba menganalisa perkembangan sepuluh perusahaan publik di sektor ritel dan satu perusahaan nonpublik. Untuk mengetahui kinerja bisnis 11 perusahaan ritel tersebut, Hendry melihat dari angka pendapatan bersih, laba komprehensif serta pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya.

Dalam analisanya, Hendry menggunakan data dua tahun terakhir sejak 2015 sampai dengan 2017, yaitu perbandingan kinerja semester I-2015 ke semester I-2016, dan perbandingan kinerja semester I-2016 ke semester I-2017. Digunakan dua tahun perbandingan pertumbuhan agar terlihat apakah pertumbuhan di tahun 2017 ini lebih baik atau lebih buruk dibandingkan pertumbuhan di tahun 2016 silam.

Dari 11 perusahaan ritel yang dianalisanya, Hendry mendapatkan hanya dua perusahaan ritel yang tetap tumbuh dengan baik, yaitu pertumbuhannya di semester I-2017 lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan di semester I-2016. Dua perusahaan ini adalah Ace Hardware Tbk. (ACES) dan Catur Sentosa Adiprana Tbk. (Mitra10, dengan kode CSAP) yang menjual dan mendistribusikan masing-masing barang-barang perkakas rumah tangga dan industry, dan bahan-bahan bangunan.

Kinerja bisnis ACES tampak kuat di semester I-2017, di mana pertumbuhannya mencapai tiga kalinya dibandingkan pertumbuhan di semester I-2016, yaitu dari 6% menjadi 18%. Sedangkan CSAP yang merupakan perusahaan pengelola toko ritel bahan bangunan Mitra10 mengalami pertumbuhan semester I-2017 sedikit lebih baik dari tahun 2016, yaitu dari 10% menjadi 12%.

Sedangkan perusahaan ritel yang mengalami pertumbuhan minus adalah Hero Supermarket Tbk., yang mengelola supermarket Hero, Hipermarket Giant, Guardian dan Ikea, dan perusahaan Matahari Putra Prima Tbk, yang mengelola Hypermart dan Foodmart.

Sementara di sektor minimarket, Alfamart dan Indomaret mengalami pertumbuhan melemah, di mana masing-masing Alfamart yang sempat tumbuh 21% di semester I- 2016 menjadi hanya tumbuh 14% di semester I-2017. Sedangkan Indomaret mengalami pertumbuhan yang sangat melemah, dari 28% di semester I-2016 menjadi hanya 9% di semester I-2017.

Pertumbuhan melemah lainnya diderita oleh jaringan departemen store, Matahari, yang menjual busana, turun melemah hampir sepertiganya, yaitu dari 32% menjadi hanya 11%. Peritel lainnya yang juga menjual busana dengan target market menengah bawah, yaitu Ramayana juga mengalami pertumbuhan melemah lebih dari setengahnya, yaitu dari 25% menjadi hanya 10%.

Sedangkan peritel yang menyasar menengah ke atas, yaitu MAPI melemah sedikit dari 20% menjadi 16%. Terakhir, MIDI pengelola Alfamidi, tumbuh melemah dari 27% menjadi 18% dan RANC pengelola Ranch Market dan Farmers Market tumbuh melemah dari 11% menjadi 6%.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mande, mengatakan bahwa belum bangkitnya industri ritel ini tidak terlepas dari beberapa kebijakan Pemerintah yang dianggap menahan laju konsumsi masyarakat. Beberapa di antaranya adalah kebijakan tentang pajak hingga kartu kredit. Hal ini pun turut membebani industri ritel di Indonesia. Beban ini semakin bertambah karena keadaan ekonomi global yang masih belum sepenuhnya pulih.

“Jadi ada regulasi yang tidak berpihak,” kata Roy seperti dikutip OkeZone.

Hal ini tentu saja harus segera diantisipasi oleh Pemerintah, terkait masih lesunya industri ritel dalam negeri. Dalam hal ini, semua pihak harus coba untuk memikirkannya, pasalnya, hal ini akan terkait dengan pengurangan karyawan yang akan menambah jumlah pengangguran. (DD)