PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, mencatatkan pendapatan holding pertambangan Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hingga Juli 2018, pendapatan holding yang dikepalai Inalum ini, tercatat sebesar Rp35,5 triliun.
“Sampai Juli kemarin, revenue kami tumbuh 58% dibanding Juli tahun lalu yang Rp22,5 triliun,” ujar Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, dalam keterangannya yang dilansir Kompas.com, Kamis (6/9/2018).
Budi mengatakan, pendapatan terdongkrak akibat kenaikan harga komoditas di awal tahun. Hingga Juli 2018, EBITDA mencapai Rp10,1 triliun, tumbuh 80% dibandingkan Juli 2017 sebesar Rp5,6 triliun. Selain adanya kenaikan harga, faktor yang mempengaruhi kenaikan EBITDA yaitu adanya dividen PT Freeport Indonesia (PTFI) sekitar Rp1,8 triliun.
“Sehingga laba bersihnya sampai Juli 2018 sebesar Rp6 triliun, tumbuh 180% dari tahun lalu yang Rp2,3 triliun,” kata Budi.
Sementara itu, Budi menganggap posisi utang masih aman. Bahkan hingga Juli 2018, aset holding tambang BUMN tercatat sebesar Rp111 triliun, memiliki ekuitas Rp70,7 triliun, dan cukup banyak memegang cash sebesar Rp19,8 triliun untuk akuisisi 51% saham PTFI.
“Kalau saya bandingkan dengan RKAP 2018 dari sisi pendapatan Rp64 triliun, masih on track untuk capai itu. Sementara target EBITDA dalam RKAP 2018 sebesar Rp16,4 triliun. Target nett income hingga akhir tahun 2018 sebesar Rp9,6 triliun. Aset kita Rp175 triliun. Posisi saat ini masih Rp111 triliun. Akan ada tambahan kalau kita akusisi 51%,” tutur Budi.
Di sisi lain, lanjut Budi, kemungkinan utang juga akan bertumbuh. “Debt to EBITDA kita yang tadinya di bawah 100% tapi akan naik 5 kali karena kita butuhkan pinjaman akuisisi 51% PTFI,” lanjut dia.
Budi menambahkan, terkait pelemahan rupiah yang terjadi baru-baru ini, memberikan dampak positif bagi dua anggota holding pertambangan, yakni PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Timah Tbk (TINS). Menurutnya, setiap ada pelemahan kurs Rp 100, laba bersih mereka naik.
“Untuk PTBA setiap kurs-nya turun Rp 100, laba bersih mereka akan naik Rp24 miliar sampai akhir tahun. PT Timah, setiap turun Rp 100, labanya akan naik Rp9 miliar,” jelas Budi, seperti dikutip Kumparan.com, Kamis (6/9/2018).
Alasannya, bisnis kedua perusahaan tersebut adalah ekspor komoditas yang transaksinya dalam bentuk dolar AS. Anggota holding pertambangan yang lainnya, yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam, justru mengalami penurunan laba karena setiap pelemahan kurs Rp 100 terhadap dolar AS, laba ANTM minus Rp11 miliar sampai akhir tahun.
“Khusus untuk Antam, karena masih banyak pinjaman dalam mata uang asing, mereka memiliki sekitar US$500 juta, jadi setiap turun Rp 100, Antam labanya sampai akhir tahun minus Rp11 miliar,” ucap Budi.(DD)