Esensi: Kementerian Tegaskan, 75% Utang BUMN Merupakan Dana Pihak Ketiga Perbankan

ilustrasi
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius K Ro | Dok. Kementerian BUMN

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) senantiasa mengawasi neraca keuangan BUMN, termasuk ketika mencari pendanaan melalui perbankan dan pasar modal, baik dari pasar domestik maupun global. Pengawasan tersebut dilakukan secara teliti demi menjaga kinerja keuangan yang sehat, begitupun terkait posisi utang perusahaan pelat merah yang banyak menuai kritik belakangan ini.

Pada penjelasan yang diungkapkan Kementerian BUMN, terungkap bahwa jumlah utang BUMN yang dinilai cukup besar, bukan merupakan pure utang perusahaan pelat merah, melainkan lebih banyak berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dari perbankan.

Esensi Berita:

  1. Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius K Ro, mengatakan bahwa Kementerian BUMN melalui setiap kedeputian teknis selalu memonitor aksi-aksi korporasi BUMN yang mencari pendanaan. “Bentuk nyata monitoring diantaranya adalah dengan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaa (RKAP) dan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) setiap perusahaan,” kata Aloy, dalam keterangannya yang dilansir, Selasa (4/12/2018).
  2. Aloysius menerangkan, total liabilitas BUMN per September 2018 (unaudited) mencapai Rp5.271 triliun, di mana total aset mencapai Rp7.718 triliun, meningkat Rp508 triliun dari Rp7.210 triliun per Desember 2017. Total utang sebesar Rp5.271 triliun tersebut, lanjut Aloysius, didominasi oleh sektor jasa keuangan sebesar Rp3.300 triliun, di mana hampir 75 persennya merupakan DPK dari perbankan.
  3. Kementerian BUMN pun terus mendorong BUMN untuk selalu berinovasi dalam mencari pendanaan, dengan tidak terpaku pada pendanaan konvensional yang bersifat utang, seperti utang perbankan. “Namun juga yang sifatnya quasi ekuitas, sehingga selain mendapatkan dana segar sekaligus dapat memperkuat struktur permodalan dan neraca BUMN,” jelas Aloysius.
  4. Disamping itu, beberapa BUMN telah melakukan penerbitan surat utang melalui pasar modal dalam bentuk instrumen Medium Term Notes (MTN), obligasi domestik, maupun global bonds. Sehingga BUMN-BUMN tersebut turut dituntut untuk menjaga kondisi keuangan, tidak hanya oleh Kementerian BUMN sebagai ultimate shareholder, namun juga oleh pemegang saham publik dan pemegang obligasi BUMN.

Info Terkait:

  1. Terkait dengan kondisi utang atau liabilitas, Aloysius mengatakan, kondisi pinjaman BUMN cenderung aman dibanding dengan rata-rata industri. “Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan rasio utang terhadap ekuitas (DER) BUMN masih lebih rendah dibanding rata-rata industri. Misalnya sektor transportasi, BUMN memiliki DER senilai 1,59 kali, sementara rata-rata industri 1,96 kali,” tutur Aloysius, seperti dikutip Antaranews.com, Selasa (4/12/2018).
  2. Bahkan angka liabilitas sebanyak Rp5.271 triliun, Aloysius berpendapat, tidak mencerminkan total utang riil BUMN karena nilai liabilitas masih mengikutsertakan DPK, cadangan premi, dan dana-dana talangan. Utang riil BUMN hingga kuartal III/2018, menurut Aloysius, hanya sebesar Rp2.448 triliun.
  3. Aloysius menyampaikan, untuk utang BUMN di sektor keuangan, dari Rp3.311 triliun hanya Rp529 triliun yang merupakan utang pinjaman. Sisanya berasal dari DPK Rp2.448 triliun, serta dari premi asuransi dan sebagainya Rp335 triliun.
  4. Berikutnya utang riil BUMN, yaitu dari BUMN sektor non keuangan adalah Rp1.960 triliun. Artinya yang bisa disebut utang sebenarnya adalah Rp1.960 triliun ditambah Rp529 triliun, yaitu Rp2.489 triliun. “Artinya yang riil utang di sini Rp1.960 triliun,” kata Aloysius, seperti dilansir Detik.com, Selasa (4/12/2018). Utang riil tersebut terdiri dari utang pegawai, cadangan asuransi bagi pendiri, premi ditanggung perusahaan, dan lain sebagainya.(DD)