Belakangan ini, berkembang wacana pengintegrasian parameter penilaian kinerja Badan Usaha Milik Negara atau BUMN. Parameter penilaian kinerja BUMN yang diterapkan selama ini meliputi tiga aspek, yaitu kesehatan, tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG), dan Kriteria Penilaian Kinerja Unggul atau KPKU
Setiap tahun, BUMN harus menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menghadapi penilaian serta proses interview oleh tim assessor atau penilai. Proses ini cukup menyita waktu dan energi BUMN, padahal di sisi lain BUMN dituntut untuk berinovasi dan memiliki kinerja yang bagus.
Karena itu, berkembang wacana pengintegrasian ketiga aspek parameter di atas menjadi satu aspek penilaian saja. Kementerian BUMN sendiri telah melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dan seminar-seminar untuk mematangkan rencana tersebut.
Seorang profesional, konsultan, dan advisory di bidang corporate governance, risk management, dan control (GRC Consultant) yang kini menjabat sebagai Komite Audit di PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), Hendy M. Fakhruddin,menyambut baik wacana tersebut.
Menurutnya, semua perusahaan sejatinya perlu diukur dan dinilai kinerjanya. Apalagi perusahaan tersebut mempunyai pemegang saham atau pemodal. Penilaian ini diperlukan sebagai bahan laporan kepada pemegang saham dan publik pada umumnya.
Begitu pula dengan BUMN. Sebagai sebuah korporasi, motif BUMN adalah mencari laba di samping sisi sosial. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah semua parameter tersebut bisa digabung?
Karena itu, Hendy berpendapat, penggabungan parameter tersebut perlu ditinjau, jangan sampai ada salah satu aspek yang menjadi dominan, sehingga poin-poinnya tidak mampu menjadi alat ukur yang efektif.
Menurutnya pula, alat ukur yang baik adalah alat ukur yang sesuai dengan karakteristik BUMN, karena BUMN berbeda dengan swasta. Selain itu, korporasi saat ini bersaing dalam lingkungan bisnis yang sangat dinamis. Karena itu, alat ukur ketika kondisi bisnis tidak dinamis tentu berbeda dengan keadaan lingkungan usaha yang dinamis.
Aspek penilaian pun harus didesain agar efektif, pas dengan karakter BUMN, serta mempertimbangkan sektor BUMN tersebut. Misalnya saja, sektor terlekomunikasi tentu berbeda dengan perbankan. Karena itu, alat ukur tersebut harus fleksible dan mampu menilai bahwa suatu BUMN itu sehat atau sakit.
Hal penting lain yang perlu dicakup oleh sebuah parameter, pengukuran tersebut tidak hanya memotret atau mengukur, tapi juga harus bisa memotivasi supaya BUMN bisa berinovasi sesuai dengan kebutuhan konsumen dan lingkungannya.
Parameter atau scorecard BUMN tersebut setidaknya harus mencakup 5 aspek;
1. Adaptasi dan inovasi. Artinya, alat ukur tersebut harus bisa mengukur dan memotivasi BUMN agar mampu beradaptasi dan berinovasi dengan lingkungan yang berubah ini.
Contohnya, perkembangan teknologi ini menyebabkan banyak bisnis korporasi yang berubah bahkan banyak pula korporasi yang tidak sustain atau gulung tikar.
Misalnya saja perusahaan di bidang transportasi. Kita melihat perusahaan jasa penyewaan mobil Bluebird yang sekarang sedang tertatih-tatih menghadapi platform taksi atau ojek online, seperti Uber, Go-Jek, Grab dan sebagainya.
Itu artinya, sekarang ini telah terjadi perubahan yang cukup fundamental sikap konsumen terhadap produk dan jasa. Hal ini berdampak terhadap daya saing, bahkan daya tahan sebuah perusahaan.
2. Tata kelola. Tata kelola ini penting karena tata kelola berbeda dengan manajemen, yaitu untuk melindungi kepentingan stakeholder.
Tata kelola ini harus menyeimbangkan tiga hal, yaitu governance, risk management, dan control. Orang menyebutnya GRC. Jadi, korporasi modern, termasuk BUMN, harus punya ketiga hal ini.
3. Proses bisnis. Pengukuran proses bisnis ini standar, bagaimana mengukur dan menilai proses bisnis, apakah efisien dan sebagainya.
4. Laporan keuangan dan market indicator. Pengukuran yang satu itu tetap mengadopsi laporan keuangan yang yang ada, plus market indikator. Di samping ukuran-ukuran laporan keuangan, juga mempertimbangkan indikator-indikator perusahaan, misalnya, harga saham, kapitalisasi pasar, jadi tidak semata-mata laporan keuangan.
5. Stakeholders engangement dan sosial responsibily. Jadi, bagaimana BUMN mampu memanajemen pemangku kepentingan, seperti vendor, karyawan, kelembagaan sosial, dan tanggung jawab sosial.
Menurut Hendy, lima hal ini cukup seimbang atau balance untuk menilai kesehatan, kinerja, dan tata kelola BUMN. Jadi, tinggal bagaimana nanti masing-masing aspek ini parameternya dikembangkan. (MAY)