Ketua Umum Perhumas Agung Laksamana: Evolusi Dunia PR di Era Digital

Ketua Umum BPP Perhumas Agung Laksamana
Ketua Umum BPP Perhumas Agung Laksamana | Indra Gunawan/Annualreport.id

Tantangan dunia kehumasan kini semakin kompleks dengan hadirnya era digital dan makin tipisnya batas-batas antarnegara. Seorang humas (hubungan masyarakat) atau PR (public relations), sebagai tulang punggung perusahaan, ditantang untuk mampu berubah dan beradaptasi.

Ia tidak boleh melulu berkutat dengan media konvensional, tapi juga harus mampu berpikir sebagai seorang pemimpin redaksi untuk merencanakan dan membuat konten berita tentang perusahaan.

Seorang PR juga harus bisa berpikir sebagai seorang strategis. Dia harus mengerti apa yang diinginkan perusahaan dari PR-nya. Untuk komunikasi eksternal perusahaan, dia harus mampu membangun reputasi dan brand perusahaan, juga marketing PR activities, campaingning, roadshow, dan sebagainya.

Bahkan, seorang PR juga harus mampu menjembatani komunikasi antara manajemen perusahaan dengan karyawannya.

Sungguh banyak dan berat tugas seorang PR. Karena itu, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Persatuan Hubungan Masyarakat (Perhumas) Agung Laksamana mengatakan, seorang PR harus terus belajar agar mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan.

Sebagaimana diketahui, Agung terpilih menjadi Ketua Umum BPP Perhumas sejak 2014 lalu. Dalam kesehariannya ia menjabat sebagai General Affair Director PT April Management Indonesia, perusahaan yang fokus di industri kertas.

Sebelum bergabung dengan Citibank, selama tiga tahun lulusan Fort Hays State University ini menduduki posisi sebagai Head of Group Communication RGE Indonesia, kelompok usaha yang bergerak di industri berbasis sumber daya alam.

Agung memang bukan orang baru di industri keuangan, karena sebelumnya dia juga pernah selama 10 tahun bekerja untuk bank global juga, HSBC, dengan posisi terakhir sebagai Senior Vice President Group Communication.

Berikut ini petikan wawancara Annualreport.id dengan Agung Laksamana di sela-sela kesibukannya di Gedung Thamrin 31, Jakarta.

Bisa diceritakan kegiatan Anda saat ini?

Saat ini saya fokus di dunia public relations. Saya kebetulan menjadi Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat (Perhumas). Sedangkan day to day saya bertugas sebagai General Affair Director di PT April Management Indonesia, sebuah industri yang fokus di bidang forestry, pulp, and paper. Produk kami yang mungkin dikenal masyarakat luas adalah Paper One.

Di perusahaan ini, saya menangani aspek komunikasi perusahaan, public relations, engagement dengan stakeholder, regulasi, dan policy, termasuk komunikasi eksternal dan internal perusahaan.

Bagaimana Anda memulai karir di dunia PR ini?

Saya mungkin agak blessing juga. Tentu perlu persiapan, tapi alhamdulillah, ada faktor blessing juga dari Tuhan. Karena pendidikan saya linear, S1 dan S2 saya mengambil jurusan ilmu komunikasi. Malah, teman-teman lain yang sudah high level, biasanya bukan dari communication major. Tapi ada yang dari akuntansi, psikologi, dan sebagainya.

Akhirnya, saya bilang ke teman-teman, bahwa dunia PR ini sangat fleksibel. Tantangannya buat mahasiswa jurusan komunikasi bukan sesama teman sendiri, tapi justru dari teman-teman yang berbeda jurusan, seperti jurusan akuntansi, kedokteran, dan sebagainya. Coba saja Anda bayangkan, seorang dokter bisa menjadi praktisi komunikasi atau PR, tapi seorang PR tidak bisa menjadi dokter.

Inilah masalah kita. Dunia ini cepat sekali berubah, maka seorang PR pun harus beradaptasi dengan cepat.

Sebelum saya pulang ke Indonesia, waktu belajar di Amerika di Fort Hays State University, saya sudah buat riset tentang perusahaan-perusahaan global yang beroperasi di Indonesia.

Dulu, kalau dibilang PR itu biasanya cewek dan mantan selebritis. Tapi saya lihat semua perusahaan Amerika, head corporate affairs and communication-nya cowok. Karena itu, saya melihat ini peluang buat saya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan PR di Indonesia sekarang?

Dunia PR sekarang sudah sangat berkembang. Sebelum dan sesudah era reformasi, PR sangat berbeda. Tapi, itu memang bentuk evolusi dunia PR sendiri dengan adanya Revolusi Industri Ketiga berkat hadirnya digital media.

Saya kira itu menjadi pembuka kotak pandora. Dunia PR semakin menghadapi tantangan. Di Indonesia, tantangan tidak hanya dari sisi regulasi dan birokrasi, tapi juga akhirnya menjadi lebih borderless.

Polemiknya selalu bagaimana PR keluar dari tatanan yang tradisional seperti media relation dan protokoler. Sementara ekspektasi penggunanya, baik pemerintah maupun perusahaan sekarang lebih besar dari itu. Apalagi perusahaan multinasional mengharapkan seorang praktisi PR mampu memberikan insight berupa masukan atau opini terhadap perusahaan tersebut.

Bagaimana Anda melihat tren PR 2017, perkembangan apa saja yang akan muncul?

Desember ini, kami Perhumas akan menggelar acara PR and Social Media Trend, sekaligus ulang tahun ke-44 Perhumas. Kita mencari tokoh yang pas untuk berbicara soal tren PR dan digital. Saya sendiri ingin belajar dan melihat perkembangan ini dari para konsultan PR, mungkin dari luar negeri. Karena sekarang dengan hadirnya banyak aplikasi, seperti Go-Jek, Uber, dan sebagainya, telah mengubah banyak hal. Lalu kita juga ingin melihat PR-nya Google sebagai search engine terkemuka di dunia seperti apa. Lalu, apakah PR akan diperlukan lagi ketika semua orang sudah mengetahui segala hal?

Itu dia, teknologi digital dan media sosial saat ini sangat berkembang pesat. Lantas, bagaimana para PR menghadapinya?

Sekarang ini, teknologi digital dan dunia media sosial memang berkembang sangat cepat. Selain media konvensional, media-media online dari Sabang sampai Merauke banyak bermunculan. Begitu juga dengan sosial media, mulai dari Facebook, Path, Twitter, Instagram, dan sebagainya. Tentu semua ini membuat tantangan PR ke depan semakin kompleks. Akhirnya, dalam opini saya, seorang praktisi PR harus bisa berpikir sebagai seorang pemimpin redaksi.

Dia harus bisa membuat konten berita, dia harus tahu berita yang isinya strategis bagi perusahaan itu apa saja, lalu berita itu akan dia share ke mana saja, dan sebagainya. Dia juga harus punya agenda setting. Dia harus bisa melihat, hari ini, di dalam channel-channel atau media yang ada, berita apa saja yang terbit. Dia harus bisa membuat pengukuran atau measurement dari berita-berita yang beredar, yang kemudian memberikan pandangan kepada manajemen perusahaannya.

Lebih dari itu, dia juga harus bisa membuat konten yang indepth tentang bisnis perusahaannya. Dia harus mengerti bahasa bisnis dan end goal dari bisnis perusahaannya tersebut. Sehingga, apa yang dilakukannya tersebut dalam membawa pengaruh terhadap bottom line perusahaannya yaitu profit, reputasi, dan trust.

Tantangannya berat juga, ya?

Memang berat. Sebab, seorang PR harus bisa berpikir sebagai seorang strategis. Dia harus mengerti apa yang diinginkan Perusahaan dari PR-nya. Apa yang bisa dihasilkan dari PR, semua aktifitas komunikasi itu bisa memberikan bottom line kepada perusahaan.

Makanya, saya sangat passionate mengenai strategi ke-PR-an. Untuk komunikasi eksternal perusahaan, seorang humas harus mengetahui apa konteks dan purpose dari bisnis perusahaannya. Dia harus mampu membangun reputasi dan brand perusahaan, juga marketing PR activities, campaingning, roadshow, dan segala macam. Itu normatif atau mandatori yang memang harus diketahui seorang PR.

Namun, jangan lupa, tantangan dunia PR sekarang adalah di internal perusahaan juga. Perusahaan bisa maju karena people-nya. Buku manajemen mana pun selalu bilang bahwa people is our greatest asset. People itu aset, bukan mesin. People yang menjalankan semuanya.

Lantas how to manage people and inspiring people? Sekarang kita memasuki era millenial. Teman-teman yang di bawah 30 tahun, mereka melihat sebuah organisasi perusahaan tidak sebatas untuk mencari profit atau take home pay salary, tapi purpose dan visi serta misi ke depannya. Orang millenial lebih kritis, kalau tidak happy, mereka keluar. Lalu, bagaimana perusahaan bisa menjaga aset ini?

Untuk diketahui, di Amerika, sudah biasa anak mellenial keluar masuk perusahaan dua sampai empat kali, karena tidak sesuai dengan purpose-nya.

Kalau purpose-nya dapat, akhirnya dia akan tumbuh dan berkembang bersama organisasi perusahaan.

Ada sebuah riset yang dilkaukan pada tahun 2015 yang menyatakan betapa pentingnya menjaga staf atau karyawan sebagai aset serta internal communication. Kalau kita bisa increase lima persen dari staff engagement, itu akan increase profit growth tiga persen. Jadi, kenaikan lima persen staff engagement itu akan meningkatkan profit growth di tahun yang sama tiga persen. Bayangkan, kalau kita increase sampai 50 persen, maka profit kita akan naik 30 persen.

Jadi, memang ada surveinya, bahwa bisa dihitung bagaimana korelasi internal communication engagement kepada profit. Tidak hanya program semata, tapi bagaimana program itu bisa akuntable kepada bottom line perusahaan.

Jadi, tantangan PR sekarang adalah eksternal dan internal perusahaan. Job skill capabilities praktisi PR harus ekstra.

Ketika sebuah perusahaan menghadapi sebuah kasus yang menjatuhkan reputasinya di mata publik, seperti penggunaan akun media sosial personal karyawan yang tidak etis. Sering kita temui akun tersebut juga mencantumkan nama perusahaan, sehingga jika ada isi yang kurang pantas, perusahaan terimbas. Dalam kasus seperti itu, apa sebenarnya peran PR? Apakah ada strategi untuk mengangkat reputasi dan trust dari publik kembali?

Sebenarnya tidak ada quick fix. Semua tergantung dari situasinya. Jadi, tidak ada satu magic yang bulet atau tablet khusus bahwa kalau teori ini dijalankan, pasti persoalan akan beres. Tidak ada.

Idealnya, biasanya, yang sering dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dan juga dari beberapa text book dari case study mengenai crisis communication yang pernah saya baca, usualy mereka akan meminta maaf secara terbuka kepada publik, dengan mengatakan bahwa memang telah terjadi kasus ini, dan kami akan lakukan perubahan ini dalam waktu dekat.

Biasanya cuma begitu, dan perubahaan-perubahaan yang dijanjikan oleh perusahaan akan akan ditunggu publik, atau oleh customer atau stakeholdernya.

Saya rasa tidak men-simplify kasus krisis, tapi dalam frame book yang secara agak simplistik, kira-kira seperti itu. Orang kalau sudah minta maaf, mau diapain lagi. Kalau kasus hukum, mungkin sudah beda yuridiksinya. Maaf kita terima, tapi hukum tetap berjalan.

Bisa dijelaskan tentang program Perhumas, yakni Indonesia Bicara Baik?

Program ini muncul karena banyak berita negatif tentang Indonesia. Kalau dicari negatif, semua bisa negatif. Bahkan keluarga sendiri, kalau dicari-cari negatifnya, pasti banyak. Tapi kita tidak perlu mencari-cari yang tidak baik. Kita bicara yang baik-baik saja tentang Indonesia. Misalnya, hari ini saya makan rendang. Rasanya enak sekali. Atau saya naik busway, nyaman dan aman.

Itu hal kecil, tapi itu juga berbicara baik tentang Indonesia. Lantas, siapa yang harus bicara baik? Ya, kita sendiri. Rakyat Indonesia sendiri.

Saya pernah ceritakan kepada teman-teman praktisi PR tentang cerita seorang CEO sebuah perusahaan di luar negeri, yang membawa wartawan berkeliling pabriknya. Wartawan itu bertanya, berapa orang karyawan Anda?

Dijawab oleh CEO, sekitar 3000 orang. Ditanya lagi, berapa banyak Anda memiliki PR? Dijawab, 3000 orang. Kok, banyak sekali? Ya, karena semua karyawan di sini adalah PR.

Tahun lalu, ketika saya diterima oleh Presiden Joko Widodo berkaitan dengan pelaksanaan Konvensi Nasional Humas Indonesia, saya mengatakan kepada Presiden, “Pak, kalau orang sudah mengerti apa peran dan fungsi Humas itu, maka jika ada yang betanya berapa orang Humas di Indonesia? Maka jawabnya ada 255 juta humas. Sebab, jumlah orang Indonesia itu ada 255 juta, dan seluruh orang indonesia ini adalah humas. Karena kita sendiri harus menceritakan betapa bagusnya Indonesia. Kita sendiri harus bicara baik tentang Indonesia.