Corporate Secretary Indocement Pigo Pramusakti: Mencari Ekuilibrium Baru

Corporate Secretary PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk
Corporate Secretary PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk Pigo Pramusakti | Dok. Indocement

“Infrastruktur is semen”. Memang demikian. Setiap kali berbicara pembangunan infrastruktur, entah itu rumah, jembatan, trotoar, jalan tol, hingga gedung pencakar langit, tak lepas dari semen sebagai salah satu materialnya. Malah ada yang mengatakan, indikator bahwa suatu bangsa itu maju adalah seberapa banyak ia mengkonsumsi bahan material seperti semen. Karena itu, tidak mengherankan bila semen menjadi salah satu industri yang paling maju di Indonesia hingga saat ini.

Salah satu produsen semen yang terbesar di Indonesia adalah PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Merek semennya yang cukup dikenal masyarakat adalah Tiga Roda. Saking terkenalnya, hingga ada merek obat nyamuk bakar yang juga menggunakan nama Tiga Roda.

Pabriknya yang terletak di Kecamatan Citeureup, Bogor, merupakan pabrik semen terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Awalnya, Indocement bernama PT Distinct Indonesia Cement Enterprise yang berdiri pada tahun 1973. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, Indocement mampu membangun tujuh pabrik tambahan sehingga kapasitas produksi terpasangnya pun meningkat.

Peningkatan tersebut turut membantu penyediaan pasokan semen bagi pembangunan di Indonesia yang semula merupakan negara importir semen, berubah menjadi negara pengekspor semen.

Kedelapan pabrik tersebut dikelola dan dioperasikan oleh enam perusahaan berbeda. Pabrik-pabrik yang dikelola keenam perusahaan ini terletak di Kompleks Pabrik Citeureup dan memproduksi semen portland, semen putih dan semen sumur minyak.

Pada tahun 1985 keenam perusahaan tersebut dilebur menjadi satu dengan nama PT Indocement Tunggal Perkasa. Lalu, pada tahun 1989, perusahaan ini melakukan Penawaran Umum Saham Perdana (Initial Public Offering) dan menjadi perusahaan publik serta menyesuaikan namanya menjadi PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk dengan kode emiten INTP. 

Pada 18 April 2001, Indocement yang semula berada di bawah konglomerasi Salim Group, kemudian beralih ke Kimmeridge Enterprise Pte. Ltd., anak perusahaan raksasa semen dunia HeidelbergCement Group yang berkedudukan di Jerman.

Melihat sejarahnya yang begitu panjang dan menarik, tentu kita ingin mengetahui sejauh mana praktik tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) Indocement, sehingga hingga kini masih kokoh berdiri dan menjadi salah satu produsen semen terbesar di Indonesia.

Berikut ini petikan wawancara Annualreport.id dengan Corporate Secretary (Corsec) Indocement Pigo Pramusakti.

Sejak kapan Indocement menerapkan prinsip-prinsip GCG?

Jauh sebelum menjadi perusahaan terbuka, Indocement adalah perusahaan yang berasal dari group company local yang cukup prominen, cukup besar, dan punya kinerja yang bagus, yakni Salim Group.

Di Salim Group, praktek-praktek modern manajemen sudah di-apply sejak dulu. Walaupun owner mempunyai peran, tapi mereka mempunyai struktur manajemen profesional. Mereka mempunyai kumpulan profesional. Tentu kita mengenal nama-nama seperti Yudiono Tosse, Yohannes Koco, mereka adalah senior manajer, yakni pangkat tertinggi di perusahaan.

Di level kedua ada Pak Hartono Gunawan dan Ibu Evarianti. Jadi, maksud saya, mereka itu profesional semua. Jenjangnya, senior manajer, manajer, dan ada asisten manajer.  Setelah itu, nanti masuk ke level-level di anak-anak perusahaan. Semua yang mengatur adalah yang mempunyai perusahaan.

Jadi sejak awal, bisnis konglomerasi ini sudah menerapkan manajemen modern yang baik yang sudah melibatkan profesional.

Ketika Indocement go public pada tahun 1989, tidak banyak perubahan dalam manajemen. Perusahaan hanya menambahkan kewajiban sebagai perusahaan terbuka, seperti harus membuat laporan kinerja tiga bulanan, harus mengeluarkan laporan tahunan, dan sebagainya.

Apalagi sejak dulu, meski perusahaan keluarga, tapi tidak full karena di dalamnya ada saham pemerintah sebesar 30 persen. Sehingga kaidah-kaidah manajemen BUMN pun sudah masuk.

Ketika pemilik telah berpindah tangan, apakah ada perbedaan penerapan tata kelola tersebut?

Selama ini, yang kita dapatkan dari induk usaha, ya positif-positif saja. Artinya, kita belajar bahwa dari induk di Jerman, mereka punya code of conduct tersendiri, misalnya conduct buat karyawan, conduct untuk suplier, conduct untuk mencegah korupsi dan anti monopoli.

Mungkin, Kalau kita bukan anak perusahaan mereka, kita tidak akan tahu apakah itu perlu dipraktikan atau tidak. Tapi, karena mereka punya pengalaman internasional dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, maka apa yang baik di sana, dipraktikkan di sini, sehingga etika-etika tersebut menjadi sebuah kultur perusahaan holding ini.

Apakah corporate governance ini berdampak terhadap kinerja Indocement?

Tentu saja. Sebab, background mereka adalah perusahaan semen juga. Sehingga ada transfer knowledge. Ada teknologi-teknologi yang ditransfer ke kita, misalnya, penggunaa bahan bakar alternatif dan bahan baku alternatif.

Berkat transfer teknologi ini, pada tahun 2008, kita sudah bisa menjual certificate of emission reduction dan kita mendapatkan uang dari situ.

Berdasarkan protocol yang ada bahwa setiap kali ada teknologi pengurangan emisi CO2, kita bisa menjualnya ke perusahaan-perusahaan lain yang emisi CO2nya sedang naik akibat dari penggunaan bahan bakar fosil.

Tahun 2008 kita sudah berhasil meraih certificate of emission reduction, lalu kita jual dan terjual melalui World Bank.

Berdasarkan laporan keuangan yang ada, kinerja keuangan Indocement dari tahun ke tahun terus menurun. Apakah praktik GCG ini cukup membantu?

Justru jika tanpa GCG, mungkin Indocement sudah babak belur. Boleh dibilang, GCG ini salah satu yang menyelamatkan Indocement. Prinsip GCG yakni transparency, accountability, responsibility, indepandency dan fairness kita terapkan menjadi satu dengan cara kita memenej perusahaan.

Jadi, dengan kita melakukan prinsip akuntable dan kita bertanggung jawab terhadap dengan apa yang kita kerjakan otomatis hasilnya akan lebih baik, kita tidak akan serampangan melakukan sesuatu.

Contohnya, kita mulai merasakan penurunan pasar semen itu mulai dari 2015 awal, pada waktu Bapak Presiden Joko Widodo mengatakan, atas pemintaan Direksi Semen Gresik, maka harga semen diturunkan Rp3000 per sack.

Nah, sekarang kalau Semen Gresik turun Rp3000, maka yang lain tentu ikut turun. Jika tidak ikut turun, tentu tidak akan laku karena terlalu mahal.

Jadi, pada Januari 2015 kita memutuskan bahwa pada tahun 2015 adalah waktunya kita mengencangkan ikat pinggang, cost cutting. Karena itu, Indocement masih bisa bertahan meski keuntungan mulai berkurang.

Selain itu, kinerja keuangan Indocement dari tahun ke tahun menurun, juga karena kondisi produksi Indocement yang over supply.  Tahun ini  saja, kebutuhan semen hanya 60 juta ton, sementara kapasitas produksi yang terpasang sudah 90 juta ton semen.

Kinerja keuangan ini juga dipengaruhi banyak pemain baru. Di pulau jawa, ada paling sedikit 9 pemain baru dengan 9 merek baru. Jadi, yang semula kita hidup aman damai, sekarang kita  bertemu dengan kompetitor baru yang kita tidak kenal. Nah, ini merubah peta dan keseimbangan pasar.

Belum lagi tahun ini musim penghujan lebih panjang dengan intensitas tiga kali dari biasanya. Jadi tiga hal itu yang membuat pasar semen sekarang ini dalam kondisi mencari ekuilibrium baru.

Sekarang ini, pembangunan infrastruktur sedang digalakkan pemerintah. Infrastruktur is semen. Apakah ini berpengaruh terhadap pemasukan perusahaan?

Apa yang sepertinya besar itu, sesungguhnya tidak besar. Misalnya saja ada program pembangunan Satu Juta Rumah dari BTN. Ini memang terlihat besar, tapi coba kita hitung, rumah tipe apa yang akan dibangun? Kalau rumah tipe sederhana, paling tidak membutuhkan semen sebanyak lima sack, lalu kita kalikan dengan satu juta rumah. Hasilnya tidak terlalu signifikan.

Begitu juga dengan pembangunan jalan tol. Waktu pembangunan jalan tol Cipularang sepanjang 200 kilometer, ternyata hanya membutuhkan semen sebanyak 150 ribu ton, itu pun dalam waktu tiga tahun.