Di dunia perbankan, kinerja positif terhadap pencapaian laba bersih bisa dilihat dari berbagai komponen, di antaranya adalah kinerja penyaluran kredit, margin bunga bersih atau Net Interest Margin (NIM), hingga pendapatan provisi dan komisi (fee based income).
“Biasanya, yang mendorong kinerja laba bersih bank adalah penyaluran kredit dan NIMnya. Kalau kedua hal ini tumbuh tinggi, laba akan mengikuti,” kata Kiswoyo Adi Joe, analis dari Recapital Sekuritas dalam keterangannya yang dikutip dari Tirto.
Pada kuartal III 2017, BMRI hanya mencatatkan pendapatan bunga bersih sebesar Rp38,83 triliun, naik 0,46%. Tipisnya kenaikan pendapatan bunga bersih ini disebabkan biaya dana yang melonjak hingga Rp20,46 triliun yang tumbuh 12,29%. Meski begitu, pendapatan BMRI nonbunga naik hingga 19,5% menjadi Rp17,22 triliun. Kinerja positif ini didorong dari pos pendapatan komisi dan administrasi perseroan yang naik 11% menjadi Rp9,15 triliun.
Selain itu, BMRI juga berhasil memangkas biaya operasional nonbunga hingga 4% menjadi Rp37,91 triliun. Biaya yang paling besar dipangkas adalah kerugian penurunan nilai aset kredit, dari Rp15,47 triliun turun 20,49% menjadi Rp12,3 triliun. “Laba naik karena keberhasilan kita menekan NPL, kita lakukan collection dan restrukturisasi kredit bermasalah, sehingga pendapatan bertambah,” kata Kartika Wirjoatmodojo, Direktur Utama Bank Mandiri sebagaimana dikutip Antara.
Dari capaiain ini, Kartika menargetkan, di akhir tahun, NPL secara gross BMRI bisa berada di 3,5 persen. Berdasarkan hal tersebut bisa disimpulkan bahwa kenaikan laba bersih BMRI dikarenakan adanya pemangkasan biaya operasional nonbunga dan pendapatan komisi (fee based income) yang melonjak, meski penyaluran kredit melambat.
Sementara itu, BBRI berhasil memperoleh pendapatan bunga bersih sebesar Rp55,12 triliun, naik 12%. Hasil tersebut didorong dari rendahnya biaya dana yang dikeluarkan perseroan yakni sebesar Rp22,16 triliun, atau hanya tumbuh 3%. Rendahnya biaya dana BBRI itu dikarenakan dana pihak ketiga (DPK) perseroan didominasi oleh dana-dana murah atau current account saving account (CASA), yakni 55,4% dari total dana DPK.
Pendapatan komisi BBRI juga semakin kuat dengan perolehan senilai Rp7,43 triliun, naik 15%. Namun sayangnya, biaya operasi nonbunga perseroan tercatat tumbuh 17% menjadi Rp30,55 triliun.
Di lain pihak, BBNI berhasil meraup laba bersih sebesar Rp10,24 triliun, meningkat 31,78% dari Rp7,71 triliun. Hasil ini juga tercatat tumbuh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan kuartal III-2016 sebesar 29%.
Tidak seperti BBRI, biaya dana yang dikeluarkan BBNI sebenarnya tumbuh cukup tinggi, yakni naik 18% menjadi Rp11,88 triliun. Pendapatan bunga bersih pun hanya tumbuh 7,49% menjadi Rp23,51 triliun. Sementara biaya operasi nonbunga Perseroan bisa ditekan dengan hanya tumbuh 9% menjadi Rp14,75 triliun. BBNI juga terbantu dari pos pendapatan komisi yang meningkat hingga 16% menjadi Rp5,33 triliun.
“Saya rasa kinerja kami menunjukkan perbaikan menghasilkan profitabilitas yang semakin membaik dari waktu ke waktu, ukurannya dari ROE yang 16%,” terang Direktur Keuangan BNI, Rico Budidarmo dalam keterangannya seperti dilansir Republika.
Sementara itu, BTN merealisasikan pendapatan bunga dan bagi hasil bersih Rp6,46 triliun, naik 17%. Namun, pertumbuhan pendapatan tersebut juga diikuti dengan meningkatnya beban operasional nonbunga BTN.
Pada kuartal III-2017 ini, beban operasional nonbunga Perseroan tumbuh 20% menjadi Rp4,48 triliun. Pertumbuhan biaya ini terbilang sangat tinggi mengingat pada periode yang sama, beban operasional nonbunga hanya tumbuh 13%.
“Kami optimis mencapai target kinerja sampai akhir 2017, dengan inovasi, transformasi dan stimulus kebijakan pemerintah," kata Direktur Utama BTN, Maryono dalam keterangan tertulisnya. (RiP)