Wilson Arafat: Pentingnya Assessment Implementasi GCG

Wilson Arafat
Wilson Arafat | Indra Gunawan/annualreport.id

Sejak Indonesia didera krisis moneter pada 1998, para ahli ekonomi, khususnya di Amerika dan Eropa, menyodorkan konsep Good Corporate Governance (GCG) sebagai obat yang cespleng untuk meredakan sekaligus memperbaiki keadaan perusahaan-perusahaan yang karut marut saat itu.

Pahit memang, tapi para ahli itu menjamin, dengan mengimplementasikan prinsip GCG secara menyeluruh, kondisi perusahaan akan berangsur membaik, kinerja meningkat, dan berkelanjutan.

Pemerintah melalui Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang telah berubah menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bersama Bank Indonesia, dan beberapa lembaga pemerintah lainnya, merumuskan pedoman pelaksanaan GCG bagi perusahaan-perusahaan, baik perbankan maupun nonperbankan, baik BUMN maupun yang listed di Pasar Modal.

Bagi perusahaan-perusahaan itu, tampaknya memang tidak sulit untuk mengatakan bahwa pihaknya sudah mentaati prinsip-prinsip dasar GCG yang mencerminkan asas transparansi, pertanggungjawaban, akuntabilitas dan keadilan.

Namun, sesungguhnya perlu dilakukan suatu penilaian atau assessment GCG yang sistematis untuk meyakinkan bahwa perusahaan telah sungguh-sungguh melaksanakan Corporate Governance.

Ada upaya dari pemerintah untuk melakukan penilaian, di antaranya melalui ajang Annual Report Award (ARA) yang digelar setiap tahun. Beberapa kriteria penilaian ARA terkait dengan pelaksanaan GCG, khususnya prinsip tranparansi. Di samping itu, ada pula metode lain, yang mampu memonitor, mengontrol, serta mengevaluai implementasi GCG, yaitu assessment GCG.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang assessment GCG ini, kami cuplikan wawancara kami dengan pakar, praktisi, yang juga dosen GCG, Wilson Arafat, di kantornya, Menara BTN, Jakarta.

Bisa dijelaskan tentang Assessment GCG?

Assessment GCG, berarti penilaian terhadap implementasi GCG. Assessment GCG ini merupakan suatu hal yang sangat penting ketika mengelola praktik-praktik GCG di sebuah perusahaan.

Penilaian ini dapat dilakukan melalui beberapa cara atau pendekatan, yakni Self Assessment, second party assessment, dan Third-Party Assessment.

Bisa dijelaskan satu-satu, Pak?

Self assessment itu, ya self, sendiri. Jadi perusahaannya sendiri yang melakukan penilaian atau penilaian mandiri. Yang diwajibkan pemerintah untuk self asessment hanya bank. Jadi, bank itu sendiri yang melakukan self assessment.

Pemerintah, dalam hal ini OJK, kemudian membuat kriteria apa saja yang harus dinilai. Kemudian bank melakukan assessment dengan membuktikan melalui data dan fakta bahwa perusahaannya telah melakukan assessment.

Kemudian hasil tersebut dilaporkan ke OJK.  Nanti OJK yang akan menentukan atau menilai, apakah bank tersebut sudah melaksanakan prinsip-prinsip GCG atau masih kurang, atau bahkan belum.

Jadi ada kewajiban bagi pihak bank melapor ke OJK, dan OJK yang menentukan.

Sementara self assessment  bagi perusahaan BUMN, dapat menggunakan tools indikator GCG dari Kementerian BUMN. Sedangkan self assessment bagi perusahaan terbuka atau yang listed di Pasar Modal, bisa menggunakan kriterian Asean CG Scorecard.

Lalu, bagaimana dengan second dan third party assessment?

Second party assessment ini biasanya dilakukan oleh unit bisnis yang ditunjuk oleh perusahaan untuk melakukan assessment di perusahaannya sendiri, tapi bekerjasama dengan misalnya unit risk manajemen atau unit audit. Misalnya akan mengaudit kantor cabang, maka manajemen akan menitipkan ke tim audit untuk melakukan assessment di cabang kantor cabang tersebut.

Sedangkan third party assessment ini penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh pihak independen. Untuk perusahaan terbuka, OJK telah menunjuk langsung Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD ) Indonesia. Lembaga ini adalah lembaga satu-satunya yang boleh mengassess. IICD menggunakan acuan ASEAN CCG Scorecard dalam menilai praktek CG perusahaan terbuka di Indonesia.

Sedangkan BUMN menunjuk BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk melakukan assessment GCG di perusahaan-perusahaan BUMN.

Untuk third party assessment ini memang belum ada standar di Indonesia.

Untuk self assessment apakah ada standarnya?

Sampai saat ini belum ada aturan standar. Tapi kalau sebuah perusahaan ingin melakukan self assessment, maka perusahaan tersebut bisa membuat kriteria sendiri.

Saya pernah menyarankan pada pihak regulasi, bahwa seharusnya ada lembaga yang melakukan assessment GCG. Misalnya saja Kantor Akuntan Publik (KAP) yang sudah terdaftar di OJK.

Saya sendiri sudah beberapa kali, misalnya dengan FE UGM membuat standarirasi, tools yang standar assessment GCG ini.

Kira-kira, variable apa saja yang harus diassess?

Sesuai dengan yang dikeluarkan oleh regulasi. Kalau perusahaan perbankan, tentunya mengikuti variable yang sudah ditentukan oleh OJK. Dan ini sifatnya wajib.

Misalnya saja Bank Tabungan Negara (BTN), maka dia harus melakukan self assessment sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Peraturan OJK (POJK). Selain itu, BTN juga merupakan perusahaan terbuka, maka dia wajib melakukan self assessment-nya sesuai dengan kriteria Asean CG Scorecard.

BTN pun merupakan perusahaan BUMN, maka dia harus mengikuti pula standar assessment yang ditentukan oleh Kementerian BUMN.

Jadi paramenternya, kalau mau simple, ya ikuti OJK, regulasi, dan standar internasional.

Parameter yang sesuai standar internasional itu apa saja?

Kalau standar internasional ada lima parameter besarnya. Pertama, hak-hak pemegang saham, kedua, peran stakeholder, ketiga, perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, keempat, tranparansi dan disclosure, kelima, tugas dan tanggungjawab board.

Sementara sub parameternya ada 190.