Hendy Fakhruddin: Beyond Good Company by GCG

Hendy Fakhruddin
Hendy Fakhruddin | Siti Marwiyah/Annualreport.id

The good company and the bad company semakin terlihat ketika mereka dihadapkan pada kondisi perekonomian global yang masih belum stabil seperti saat ini.

The good company adalah perusahaan yang menjadikan Good Corparate Governance (GCG) bukan sebatas lip service, tapi mengimplementasikannya secara menyeluruh dan menjadikannya sebagai kultur di perusahaannya.

Perusahaan semacam ini, umumnya, mampu bertahan dalam badai krisis ekonomi sekali pun. Sementara the bad company adalah perusahaan yang sebaliknya. Perusahaan ini, umumnya tidak sustainable. Mereka kebanyakan terpuruk bahkan gulung tikar ketika dihadapkan pada perlambatan perekonomian seperti sekarang ini.

Karena itu, para investor saat ini sangat berhati-hati menginvestasikan dananya. Mereka tidak melihat sebuah perusahaan dari laporan keuangannya yang bisa disusun sedemikian “ciamik”, namun justru kepada the man behind the decision serta pelaksanaan GCG-nya.

Lantas, bagaimana caranya supaya sebuah perusahaan mampu menjadikan GCG sebagai kultur, serta bagaimana pula meningkatkan reputasi perusahaan sehingga memiliki kredibilitas yang baik bahkan menciptakan market confidence?

Berikut ini, kami kutipkan wawancara Kami dengan Hendy Fakhruddin di Jakarta, belum lama ini.

Hendy Fakhruddin adalah seorang profesional, konsultan, dan advisory di bidang corporate governance, risk management, dan kepatuhan (GRC Consultant). Ia termasuk salah satu pendiri Lembaga Sertifikasi Profesi Pasar Modal, pernah juga menjadi staf ahli Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), serta Direktur Eksekutif Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).

Kedalaman dan keluasan ilmunya, membuat ia diangkat sebagai narasumber, konsultan dan advisor bidang tata kelola perusahaan oleh berbagai perusahaan BUMN dan kelembagaan publik, seperti Antam, Wijaya Karya, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, BPJS Ketenagakerjaan, dan lain-lain. Bahkan ia diangkat menjadi Komite Audit di PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) hingga saat ini. Ia juga menjadi salah satu narasumber di MNC Business Channel.

Apa sebenarnya yang menyebabkan sebuah perusahaan sulit berkembang saat ini?

Kalau kita bicara industri pasar modal, penelitian saya menunjukkan, ada dua hal yang menjadi kendala perusahaan-perusahaan sekarang ini, khususnya perusahaan Tbk. Yaitu, over expansion dan bad governance.

Over expansion, yaitu, ketika perusahaan terlalu agresif berekspansi, terutama pada bidang-bidang yang sebenarnya tidak mereka kuasai.
Bila dalam kondisi perekonomian yang stabil atau normal, berekspansi tidak menjadi masalah. Tapi ketika kondisi perekonomian tidak normal atau over heating, maka kebanyakan perusahan menjadi tidak fokus, malah over leverage alias kebanyakan utang.

Akhirnya, mereka sendiri kesulitan, karena suku bunga akan semakin tinggi, beban utang juga semakin berat, sementara income menurun, dan seterusnya.

Yang kedua adalah karena tata kelola perusahaan yang tidak baik. Tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance itu sejatinya mampu melindungi kepentingan stakeholder dan shareholder.

Apakah ada rumusnya agar sebuah perusahaan bisa sustained?

Untuk menghindari masalah ini, saya mempunyai rumus GCG sendiri. Rumusnya ada tiga. Pertama, harus ada komitmen. Kalau tidak ada komitmen dari perusahaan, maka yang ada hanyalah setumpuk pedoman, dokumen, yang setiap perusahaan pasti mempunyainya. Karena itu harus ada komitmen, terutama komitmen dari para eksekutif atau board, yang terdiri atas Direksi dan Dewan Komisaris.

Rumus kedua adalah leadership. Tanpa leadership, maka perusahaan akan biasa-biasa saja, bahkan cenderung melemah. Karena itu, sebuah perusahaan membutuhkan pemimpin yang bisa dijadikan teladan. Makanya, tidak mengherankan bila sebuah perusahaan hebat, ada CEO hebat di belakangnya. GCG sendiri adalah keteladanan dari seorang pemimpin.

Rumus ketiga adalah legacy. Biasanya, para eksekutif atau pimpinan, apa pun entitas perusahaannya, orientasinya biasanya berdasarkan jangka pendek.
Misalnya seorang direksi mempunyai target di setiap tahunnya, seperti target peningkatan penjualan, peningkatan pendapatan perusahaan, atau bagaimana caranya supaya bottom line tercapai. Ketika itu, Sang Direksi tidak boleh lupa bahwa dia pun harus mempunyai target jangka menengah panjang untuk perusahaan yang dipimpinannya agar bisa mampu meraih keunggulan daya saing berkelanjutan (sustainable competitive advantage).

Jadi, di situlah letak pentingnya implementasi GCG. Sebab, dalam GCG yang dipentingkan adalah membangun kultur, bukan target-target jangka pendek seperti di atas.
Governance itu tumbuh dalam waktu jangka panjang. Begitu juga dengan penghargaan pasar yang tumbuh dalam jangka waktu yang panjang. Kalau orang berorentasi jangka pendek, hampir dipastikan mereka agak mengabaikan GCG.

Berbicara governance, kita juga akan berbicara soal komitmen, proses, keterlibatan semua orang, dan membangun kultur, sehingga ada tokoh-tokoh yang nantinya akan dikenang dan diteladani. Mereka menjadi mempunyai legacy.

Kalau orang hanya mencari uang, hampir dipastikan legacy tidak akan didapatkan. Membangun GCG itu memang tidak mudah, karena membutuhkan orang yang mau berkomitmen, mau memberikan keteladanan dan berpikiran legacy atau jangka panjang.

Bagaimana investor melihat implementasi GCG di sebuah perusahaan?

Kalau dulu, para investor melihat perusahaan-perusahaan semata-mata dari laporan keuangannya, melihat berapa untung, rugi, penjualan, dan sebagainya.
Namun belakangan, para investor menyadari bahwa laporan keuangan tidak sepenuhnya bisa menggambarkan nilai perusahaan yang sesungguhnya karena di situ banyak adjustment termasuk accounting gimmick.

Dengan berbagai macam krisis terjadi, mereka akhirnya berpendapat, jika saya menempatkan dana, bisa di bank, bisa investor kecil atau besar, akan mempertimbangkan the man behid the decision, siapa orang yang mengambil keputusan, bukan numbers semata.

Number tetap dipertimbangkan, tapi orang akan melihat bahwa siapa yang mengambil keputusan, yang tidak lain adalah board perusahaan. Biasanya, board yang baik akan memberikan pengaruh yang kuat kepada karyawan-karyawannya.

Jadi kalau kita lihat, spirit penerapan GCG tergambar dari pergeseran orientasi manajemen yang semula sifatnya single bottom line menuju kepada apa yang disebut sebagai triple bottom line yaitu Profit, People, dan Planet. Artinya,  ke depan, perusahaan-perusahaan yang baik dan hebat akan menjadi “beyond good company” karena ada keseimbangan antara kinerja keuangan, investasi sosial dan human capital, dan kepedulian terhadap lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Ini yang kemudian dikenal sebagai Good Corporate Citizen. Seluruh pemangku kepentingan, baik internal dan eksternal, percaya dan yakin akan reputasi dan kredibilitas perusahaan di manapun ia beroperasi.

Bisa diberikan contoh real perusahaan yang telah melaksanakan GCG dengan baik?

Saya memang mengikuti kinerja, harga saham, perusahaan-perusahaan, terutama perusahaan terbuka. Ada beberapa contoh perusahaan yang telah mengimplementasikan GCG dengan baik. Misalnya saja Unilever.

Produk Unilever dipakai terus oleh masyarakat, labanya terus bertambah, dia juga dapat membagikan dividen dengan para pemegang saham, harga sahamnya pun naik terus.

Dari contoh Unilever, kita dapat mengetahui bahwa GCG tersebut in the long run. Perusahaan yang menerapkan GCG dengan baik, dia pasti mendapat perhatian dan penghargaan dari para pelaku pasar. Begitu juga yang terjadi dengan Astra International.

Penelitian saya juga menunjukkan bahwa perusahaan yang kurang governancenya, maka harga sahamnya terlempar ke zona harga saham gocap. Silakan dicek.
Perusahaan-perusahaan yang jatuh ke sana, bukan miss management tapi bad governance, sehingga tidak mendapat trust dari pasar.

Jadi, di tengah perekenomian yang masih tidak stabil ini, akan terlihat mana the good and the bad company?

Tentu. The Good and The Bad akan kelihatan. Perusahaan-perusahaan yang transparan, akuntabel, fairness, responsible, independence, itu kelihatan. Mereka akan meraih suatu market confidence.