Dana Pensiun Bank Mandiri (DPBM) melewati tahun 2017 dengan penuh optimistis dan percaya diri. Seiring dengan membaiknya iklim investasi di Indonesia, kinerja investasi DPBM secara umum pun berjalan sangat baik.
Hal ini tentu tidak lepas dari kerja keras para pengurus DPBM yang mengelola dana pensiun dengan strategi-strategi yang jitu serta analisa-analisa yang kuat dan akurat, sehingga mencapai kinerja sebagaimana yang diamanatkan oleh Pemberi Kerja dan Peserta. Di antara pengurus tersebut adalah Sarwadi. Dia adalah motor penggerak alias Direktur Utama DPBM sejak 2015.
Bagi Sarwadi, dunia pasar modal dan investasi bukanlah dunia yang asing. Pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, ini mendapat pengalaman pertama di dunia perbankan sejak bergabung dengan Bank Dagang Negara pada tahun 1985 yang kemudian merger menjadi Bank Mandiri.
Jabatan terakhir yang diembannya adalah Banking Book Departement Head di treasury Group PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dengan tanggung jawab yang tidak tanggung-tanggung, karena harus mengelola dana di atas Rp100 triliun.
Sewaktu mendapat penugasan untuk mengelola Dana Pensiun Bank Mandiri, alumni Universitas Diponegoro ini tidak merasa kaget, meskipun ketika itu aset DPBM baru mancapai sekitar Rp.4.70 trilyun. Sarwadi justru merasa tertantang untuk dapat mengelola Dana Pensiun Bank Mandiri dengan sebaik-baiknya, terutama setelah mengetahui bahwa keberhasilan pengelolaan dana akan berdampak pada kepuasan dan bahkan kesejahteraan peserta di hari tua sebagai pensiunan pegawai Bank Mandiri.
Setelah memperoleh sertifikat dari LSPDP (Lembaga Sertifikat Dana Pensiun), Sarwadi kemudian menjalani fit and proper test di OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk diangkat sebagai Direktur Utama DPBM, yang merupakan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) PPIP (Program Pensiun Iuran Pasti).
Pengalamannya dalam mengelola dana di dunia perbankan, membuat Sarwadi tidak terlalu asing dengan tugas utama di DPBM. Pada 2017, terdapat lebih dari 30.000 peserta yang bernaung di bawah DPBM.
Dengan mengemban tanggung jawab untuk dapat mengelola Dana Pensiun agar mampu memberikan manfaat yang optimal baik kepada Pemberi Kerja maupun Peserta, di bawah kepemimpinannya, DPBM mengupayakan beberapa kebijakan strategis sejak bertugas sejak tahun 2015 sampai saat ini, baik kebijakan strategis terkait investasi maupun kebijakan organisasi.
Menurut Sarwadi, kedua aspek ini berhubungan erat dengan kapasitas dan kapabilitas DPBM dalam mengelola Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP).
Kebijakan strategis di bidang investasi diharapkan akan membawa hasil usaha yang dapat memberikan dampak positif terhadap Manfaat Pensiun kepada Peserta. Sementara kebijakan organisasi menjadi basis struktur yang mewadahi seluruh gerak dan langkah DPBM, meliputi Sumber Daya Manusia, akuntansi dan pelaporan, Teknologi Informasi, hingga pelaksanaan Tata Kelola Dana Pensiun yang Baik, atau Good Pension Fund Governance (GPFG)
Berikut ini, bincang-bincang Annualreport.id dengan Direktur Utama DPBM Sarwadi di ruang kerjanya, Gedung Bank Mandiri, Mampang Prapatan, Jakarta, pada pertengahan Desember 2017 lalu:
Langkah atau strategi apa yang Anda lakukan saat pertama kali memimpin DPBM?
Sejak berkarir di Bank Mandiri, saya banyak berkecimpung di bagian treasury. Pekerjaan saya, antara lain, mengelola aset Bank Mandiri baik yang terkait jangka pendek maupun jangka panjang.
Jadi, dari dulu sudah terbiasa dengan investasi, sehingga ketika saya diangkat sebagai Direktur Utama DPBM saya merasa tidak asing lagi. Saya menjadi Direktur Utama DPBM menggantikan Bapak Gatut Subadio, yang sudah menjadi pengurus selama dua periode, pada Januari 2015.
Ketika saya masuk, saya melihat potensi bunga investasi itu akan turun. Sehingga saya bersama tim mengambil sikap atau langkah, yaitu, pertama, kami melakukan investasi dalam bentuk deposito dengan prioritas untuk jangka waktu satu tahun.
Sayangnya, waktu itu, banyak bank yang tidak menerima deposito satu tahun, sehingga alternatifnya kami menurunkan investasi untuk jangka waktu 6 bulan. Artinya, bila jangka waktu deposito semakin lama, maka kami bisa nge-lock return-nya dengan rate yang cukup tinggi.
Langkah kedua, kami punya portofolio di obligasi korporasi yang cukup besar >30% namun porsi SBN masih relative kecil sekitar 5%. Ketika itu, tren bunga turun sehingga harganya naik. Karena itu, kami menjual obligasi korporasi jangka pendek, yang istilah pasar disebut obligasi pasar uang. Jangka waktunya sampai satu tahun. Obligasi tersebut kami jual, lalu dananya kami belikan kembali obligasi jangka panjang 3-10 tahun.
Kami mempunyai perhitungan bahwa semakin lama, maka semakin bagus karena yield (return) akan semakin kecil. Sayangnya, tidak banyak korporasi yang menerbitkan obligasi jangka panjang dan biasanya rata-rata jangka waktunya hanya 3-5 tahun. Hanya sebagian kecil emiten korporasi yang mengeluarkan surat utang obligasi dengan jangka waktu relative panjang hingga sekitar 10-15 tahun, di antaranya adalah Lembaga Penjamin Ekspor Indonesia (LPEI), Bank BTN, Bank Mandiri, dan Telkom.
Langkah ketiga, kebetulan saat itu ada perubahan arah di investasi kami, yaitu kami tidak diperkenankan mengelola saham bursa secara langsung. Kami diminta untuk menyerahkannya kepada ahlinya, yaitu manager investasi. Sehingga langkah kami saat itu segera melakukan penjualan saham-saham yang dikelola sendiri (swakelola) dan menambah manajer investasi untuk membantu mengelola saham–saham swakelola DPBM. Kami lakukan penjualan saham swakelola pada sekitar akhir Q1 2015 sebelum IHSG mengalami koreksi (turun) sehingga pada saat IHSG mengalami penurunan di semester II 2015, porsi saham kami sudah tidak banyak lagi atau kurang dari 10%.
Bagaimana dengan tahun 2016 yang merupakan kesinambungan dari strategi di tahun 2015?
Benar, tahun 2016 adalah kesinambungan dari tahun 2015. Waktu itu memang ada satu ketidak pastian dalam dunia industri global. Perekonomian Cina dikhawatirkan akan hard landing alias anjlok. Tetapi ternyata, memang turun tapi soft landing. Di samping itu, ada pula pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang diiringi dengan meningkatnya ketidakpastian terutama pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru.
Isu-isu global tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi dinamika ekonomi dan pasar keuangan Indonesia pada tahun 2016. Namun kami yakin, arah pergerakan bunga akan ke bawah. Karena itu, kami mencoba menerapkan strategi yang sebenarnya lebih condong untuk mengurangi resiko pasar.
Misalnya saja, pertama, kami tetap menjaga porsi saham tetap rendah, kedua kami yakin ke depan bahwa bunga akan turun, sehingga kami cenderung untuk membeli bond yang relatif panjang, dengan sumberdana sebagian dari obligasi money market yang kami jual dan pencairan deposito, seperti yang sudah saya jelaskan di atas.
Di sisi lain kami menambah secara massive porsi SBN dari semula hanya sekitar 5% menjadi sebesar 20% (lebih kurang Rp1.10 triliun) dalam tempo sekitar 3 bulan di awal tahun 2016. Sebagain besar SBN dibuku HTM dan disesuaikan dengan profil kewajiban jangka panjang DPBM sesuai usia pesertanya. Hal ini kami lakukan untuk mengurangi risiko pasar dan memenuhi regulasi.
Selain itu, kami juga melakukan upaya diversifikasi dengan menambah instrumen investasi baru antara lain tanah dan bangunan serta EBA SP (Efek Beragunan Aset yang berbentuk Surat Partisipasi).
Dengan perpaduan strategi tersebut di atas yang terutama mendorong investasi pada instrumen obligasi korporasi dan SBN (Surat Berharga Negara), maka investasi nilai wajar DPBM tahun buku 2016 mencapai Rp5.807 Miliar atau tumbuh sebesar 10,97% dari tahun 2015 Rp5.233 Miliar dan berhasil melampaui anggaran 2016 Rp5.708 Miliar atau kurang lebih Rp98,61 miliar dari target 2016 dengan kontribusi utama berasal dari realisasi Hasil Usaha Bersih (HUB) yang jauh di atas target 2016 (Target HUB Rp433 Miliar, Realisasi Rp531 Miliar).
Sampai saat ini, kami masih menikmati hasilnya, bahkan dalam beberapa tahun kedepan, karena yield-nya tinggi dan dibuku NPA/HTM.
Di tahun 2016 juga, Alhamdulillah, kami memperoleh penghargaan sebagai Second Best Perpormance sebagai lembaga dana pensiun dengan kinerja terbaik kedua untuk kelompok Dapen, PPIP (Program pensiun iuran pasti), yang asetnya di atas Rp100 miliar, dari Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI).
Tampaknya, Anda cukup lihai memprediksi pergerakan pasar. Bagaimana Anda melakukannya?
Kami mempunyai sumber yang banyak untuk membuat suatu analisa. Saya punya Komite Investasi Saya juga punya temen-teman yang bisa diajak berdiskusi, ada yang dari sekuritas dan asset manajemen, dan kebetulan saya orang yang berkecimpung di situ. Saya dulu tiga tahun sebagai Ketua Himpunan Pedagang SUN (HIMDASUN), jadi rasanya, saya familier dengan gerakan pasar.
Pada semester II tahun 2015, saya sering diskusi dengan OJK. Salah satu yang kami bicarakan mengenai penerapan minimal investasi SBN (Surat Berharga Negara), tapi besarannya belum ketahuan. Hanya saja, ring-nya antara 20%-30%.
Pada November 2015, ketika kami membuat rencana kerja, kami sudah menargetkan SBN kami sebesar 20% di akhir 2016. Dan alhamdulillah, POJK menetapkan minimal investasi SBN akhir tahun 2016 sebesar 20% dan kami telah memenuhi lebih awal (Maret 2016). Keberhasilan itu kami angkat sebagai tema Laporan Tahunan 2016, karena bagi kami itu pencapaian yang luar biasa.
Kami menargetkan hal tersebut sebelum POJK itu ditetapkan, dan kebetulan realisasinya persis seperti yang kami perkirakan, sehingga rate of return yang kami peroleh masih sangat tinggi dibandingkan posisi saat ini.
Kami pun “mencuri start”. Kami menganalisa bahwa bunga akan turun dan harga diperkirakan akan naik. Sehingga di bulan Desember 2015, aturan OJK belum keluar, tapi kami sudah mencicil, membeli, sekitar Rp100 miliar. Maka, ketika aturan itu berlaku, tepatnya pada 12 Januari, kami sudah belanja dan hingga Maret 2016, kami melakukan pembelian lebih kurang Rp 1,10 triliun.
Kami memang cukup agresif, sehingga sampai 3 bulan dari akhir Desember 2015, yaitu sekitar Maret, target yang ditetapkan oleh OJK langsung terpenuhi. Tadinya kami cuma punya SBN sebesar 5%-6%, saat itu kami sudah melampaui 20%. Kami bersyukur.
Selain itu, kami banyak melakukan pembelian Obligasi Korporasi, sehingga hampir mencapai batas atas yang diperkenakan Arahan Investasi kami yaitu sebesar 40%. Kami terus membeli Obligasi Korporasi, karena di situ ada semacam kenaikan harga sebagai akibat penurunan bunga tadi, sehingga waktu kami optimalkan pembeliannya dan rata-rata yield pembelian obligasi kami masih relative tinggi, di atas 9%.
Nah, itulah yang tadi saya bilang, usaha yang kami lakukan sejak tahun 2015, terus berkesinambungan hingga 2016, hasilnya terus kami nikmati hingga tahun 2017, 2018, bahkan ada yang sampai tahun 2044. Dan itu akan terus menghasilkan return yang tinggi. Semua pencapaian itu kami peroleh karena kami banyak berkomunikasi dengan para pelaku pasar, kemudian kami analisis, dan kebetulan pas.
Kenapa tidak berani bermain di saham?
Dari sisi saham, saya cenderung konservatif, karena impact-nya besar. Kami mengelola dana Iuran Pasti, jadi kalau kami banyak bermain di saham, ketika harga sahamnya anjlok, saldo peserta akan berkurang. Bila orang tersebut belum pensiun, mungkin tidak terlalu bermasalah, tapi bagi orang yang sudah pensiun kemungkinan dia akan menjerit bahkan mungkin menangis karena saldonya dapat berkurang.
Karena itu, kami maintance resiko pasarnya supaya kecil. Saham kami tidak sampai 6%. Tapi obligasi kami ada hampir 40%, SBN kami di 2016 lebih dari 20%. Obligasi dan SBN itu sama resikonya. Ada pergerakan sedikit saja, harganya akan anjlok.
Nah, untuk mengurangi resiko tadi, maka metode pembukuannya yang kami sesuaikan. Kami menggunakan metode pembukuan HTM (hold to maturity) atau di industry dana pensiun dikenal dengan nilai penebusan akhir (NPA). Dengan metode HTM, pergerakan pasar ke arah mana pun tidak akan berpengaruh besar kepada return, sehingga kami lock di situ. Jadi, ketika ada gejolak di pasar modal, imbasnya tidak terlalu parah.
Contohnya saja di bulan November 2016 lalu, ketika itu Trump menang, pasar langsung anjlok. Kami anjloknya hingga Rp.95 miliar. Padahal ketika itu, posisi kami boleh dibilang aman. Kalau poisisi kami belum berubah dari tahun 2014, kemungkinan besar kami anjlok hingga Rp200 miliar lebih.
Bagaimana dengan tahun 2017 ini, dan apa saja capaiannya?
Masuk ke tahun 2017, kami masih tetap mempertahankan pembukuan HTM/NPA untuk sebagian besar SUN dan Obligasi Korporasi dengan kriteria tertentu, (diprioritaskan BUMN, sektor perbankan atau consumer dengan rating minimal AA) agar risikonya terkendali, dan bila terjadi tekanan pasar tidak banyak berimbas kepada para peserta.
Tahun 2017 OJK akan mengeluarkan peraturan baru lagi. Dan rencananya akan berlaku pada Maret 2018. Di situ, saya melihat ada poin yang sangat bagus untuk perkembangan Dana Pensiun Bank Mandiri.
OJK memberlakukan strategi agar dana yang dikelola lembaga dana pensiun tumbuh dengan cepat. OJK akan mewajibkan PPIP untuk memisahkan atau membuat kluster pesertanya.
Bagi peserta yang berusia muda, artinya masa pensiunnya masih jauh, maka masuk ke dalam kluster agresif, sementara peserta yang sudah mendekati masa pensiun atau akan memasuki masa pensiun sekitar 2 sd 5 tahun lagi, masuk ke kluster konservatif.
Yang dimaksud kluster agresif adalah pengelolaan dananya dilakukan secara agresif. Antara lain dengan bermain saham dan bila terjadi gejolak pasar, saham anjlok, maka kluster ini tidak terlalu riskan karena mereka belum pensiun. Tapi orang-orang yang sudah pensiun dan yang akan pensiun, harus berada di kluster konservatif yang bermain di deposito, SBN, supaya aman.
Bila POJK No. 5 ini diterapkan, apa yang akan dilakukan oleh Dana Pensiun Bank Mandiri?
Bila POJK itu diterapkan pada 2018, maka, untuk kluster agresif, kami pun akan bermain lebih agresif dengan menambah porsi saham. Kami pun akan menambah porsi Obligasi dan SBN dengan pencatatan atau pembukuan di AFS (available for sale). Kenapa? Karena nanti kami berharap akan mendapat capital gain.
Tapi, sampai bulan Maret 2018, kami belum berani menerapkan sistem kluster karena masih ada perserta yang akan pensiun di bulan Januari sampai Maret.
Tetapi begitu memasuki maret, atau menjelang maret, kami akan menambah porsi-porsi investasi yang lebih agresif dengan tujuan bila tumbuh, ya tumbuh besar. Kalau pun tidak bertambah, tidak apa-apa, karena nanti juga akan tumbuh. Sebab yang punya uang saja belum akan pensiun. Dananya pun tidak bisa diambil karena masih harus menunggu saat pensiun.
Nah, itu kira-kira salah satu semangat dari POJK ini, supaya dana peserta ini berkembang lebih cepat, sementara bagi yang akan pensiun dananya dijaga supaya tidak anjlok.
Apa strategi Anda untuk menyongsong tahun 2018?
Kami tetap optimis, meskipun ada beberapa challange yang akan dihadapi, di antaranya, pertama, adanya ancaman dari kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Feed Fund Rate sudah menyatakan bahwa suku bunga di Amerika Serikat ada kemungkinan naik.
Tantangan kedua, yaitu tax reform atau reformasi pajak di Amerika Serikat. Reformasi pajak yang dirancang Presiden AS Donald Trump bertujuan untuk menurunkan tarif pajak baik untuk individu maupun korporasi demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Penurunan tarif pajak ini bisa membuat investor asing di Indonesia, akan mengalihkan uangnya ke Amerika Serikat lantaran kinerja emitennya bakal semakin moncer yang membuat pertumbuhan pasar modal Paman Sam semakin membaik.
Namun hal ini tidak akan memberikan dampak berarti pada pasar saham untuk jangka panjang. Dalam jangka panjang, bursa saham di negara berkembang seperti Indonesia tetap lebih menarik lantaran pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) lebih besar, utangnya lebih kecil, dan demografinya besar sekali
Ketiga, pembangunan infrastruktur yang sedang gencar dilakukan pemerintah Indonesia. Kalau pemerintah kita sampai menaikan bunga, maka ada potensi kurang bagus.
Memang, program pemerintah ini ada positifnya. Saya mendengar rating Indonesia dari Fitch meningkat dari BBB- menjadi BBB. Artinya, Indonesia semakin mantap posisinya di mata investor asing. Karena itu, diperkirakan bunga rupiah turun. Tapi kalau bunga rupiah turun, sementara di Amerika naik, ini akan riskan. Kami sendiri memprediksikan bahwa bunga rupiah relatif stabil.
Jadi, ke depannya, memang challanging buat kami. Tapi kebetulan kami sudah banyak aset kami yang kami lock.
Yang terakhir, apa yang ingin Anda sampaikan kepada para stakeholder, khususnya para peserta DPBM?
DPBM adalah dana pensiun dengan program Iuran Pasti. Tentunya, kami berusaha untuk memberikan manfaat yang terbaik sesuai dengan visi dan misi kami yaitu menjadi Dana Pensiun yang terpercaya dan terbaik dengan misi menjamin kesinambungan penghasilan setelah peserta pensiun.
Kami berusaha mengelola Dana Pensiun dengan sebaik-baiknya dan prudent. Jadi, kalau pun kami invest kami tidak akan mengabaikan risiko.
Kami juga mengharapkan kepada pihak-pihak pengelola yang lain, saya kebetulan sebagai ketua bidang investasi di Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, jadi kami tentunya menghimbau supaya amanah yang diberikan kepada Dana Pensiun itu bisa dijalankan dengan mengedepankan kesejahteraan pesertanya. Dan tentunya jangan tergoda dengan iming-iming yang bisa menghancurkan investasi kita. Kita ingat dengan amanah yang diberikan kepada kita. (SM)